Satu Kapal Dua Nakhoda

Edisi: 22/35 / Tanggal : 2006-07-30 / Halaman : 116 / Rubrik : EB / Penulis : Syahrul, Yura , Dalle, Rumbadi ,

Mimpi Batam bersanding dengan Singapura tak kesampaian. Biang keroknya dualisme kepemimpinan.

PEMUDA asal Sumatera Barat itu membuang pagi dengan percuma. Dia memilih memarkir mobil Mitsubishi Lancer-nya di depan kompleks pertokoan Nagoya, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Seperti biasa, sebatang rokok putih menemaninya. Begitulah "ritual" Indra saban pagi selama dua tahun terakhir.

Indra sejatinya bukanlah pengangguran. Sudah sewindu pria 32 tahun ini berstatus pengemudi mobil sewaan di Batam. Tapi, "Percuma saja jalan kalau nggak pasti dapat sewa," kata Indra. Soalnya, mendapat penumpang di Batam sekarang ini bukan lagi urusan gampang.

Pesaing makin banyak, padahal jumlah pengunjung ke pulau seluas 42 ribu hektare itu terus menyusut. Sementara dulu ayah dua anak itu mampu menangguk uang di atas Rp 1 juta per hari, kini mencari Rp 400 ribu pun payah. Setelah dipotong bensin dan setoran ke pemilik mobil, uang yang dibawanya pulang saban hari rata-rata cuma Rp 50 ribu.

Beda betul dengan di masa "makmur" dulu, Indra berkisah. Ketika itu, tiap akhir pekan arus pengunjung ke Batam--sebagian besar dari Singapura, yang hanya berjarak satu jam perjalanan laut--meningkat tiga kali lipat dibanding hari biasa. Aroma judi dan prostitusi mengundang para petaruh dan hidung belang ramai bertandang. "Saya bisa lima kali dalam semalam mengangkut penumpang dari pelabuhan ke tempat judi," kata Indra.

Kini, cerita itu tinggal kenangan. Sejak dua tahun lalu, polisi rajin memerangi puluhan rumah judi…

Keywords: -

---

Foto Terkait