Atasi Krisis Dengan Transmigrasi

Edisi: 42/34 / Tanggal : 2005-12-18 / Halaman : 54 / Rubrik : INF / Penulis : , ,

HANYA separuh warga Jawa yang masih bertahan hidup. Separuhnya lagi mati ditelan kebuasan alam rimba, berhadapan dengan keganasan harimau, ular dan gajah. Kisah perjuangan transmigran pada masa awal transmigrasi di tanah air itu, dituturkan Samud (78), warga transmigran generasi kedua di Lampung. Dengan sorot mata yang tajam dan nada suara yang tegas, ingatannya masih jernih mengenang perjuangan keluarganya ketika tiba di Lampung, tahun 1937. Saat itu Samud berusia sepuluh tahun.

Dalam program kolonisasi, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan warga Jawa untuk membuka lahan pertanian pangan di pulau-pulau lain. Lampung merupakan daerah tujuan pertama. Setelah mendarat di pelabuhan, ratusan jiwa orang Jawa itu langsung dibawa menembus hutan belantara, menuju lahan yang sudah disiapkan. Di sana, jangankan rumah, atap untuk berteduhpun tak ada. Selain alat pertanian dan bekal hidup, mereka hanya diberi kawat, paku dan daren untuk atap. "Bambu dan kayu mesti dicari sendiri," ujar Samud bergetar, di hadapan para peserta napak tilas memperingati seabad kolonisasi dan 55 tahun transmigrasi di Indonesia, pekan lalu di Desa Trimurejo, Lampung Timur.

Warga Jawa yang berhasil bertahan, mendirikan puluhan bedeng. Penderitaan dan perjuangan mereka akhirnya berbuah manis. Lahan pertanian mereka menghasilkan padi yang melimpah. Kawasan bedeng mereka yang berlokasi di Lampung Tengah berkembang menjadi desa yang bernama Trimurejo. Perkembangan kawasan pun berlanjut. Sementara itu keluarga transmigran beranak pinak dan keturunannya berkiprah…

Keywords: -

---

Foto Terkait