Luka Imigran Di Tanah Prancis

Edisi: 42/34 / Tanggal : 2005-12-18 / Halaman : 65 / Rubrik : SEL / Penulis : Wijayanta, Hanibal W.Y. , Fadjri, R. ,


AKU lahir di Kampung Arab, 46 tahun lalu, sebagai pribumi kulit putih. Masa kecilku tersimpan rapi di sebuah apartemen di atas apotek nenekku, di rue Montesquieu, Lyon, sebelah utara Paris. Kawasan itu tak jauh dari Place Dupont, alun-alun pusat kota yang penuh merpati. Jalanan di sana sempit, menjalar, dan suram. Pada sore hari tempat itu sesak dipenuhi imigran Aljazair. Mereka sekadar mengobrol atau menemani anaknya bermain. Karena itulah tempat tinggalku disebut Kampung Arab.

Mereka membanjiri Prancis semenjak 1947, setelah undang-undang pemberian status kewarganegaraan bagi orang Aljazair diberlakukan. Saat itu Prancis kekurangan laki-laki. Padahal negeri ini sedang butuh tenaga kasar untuk membangun kota yang hancur akibat hujan Perang Dunia II.

Berdasarkan sensus 1946, tercatat 20 ribu muslim Aljazair menjadi warga negara Prancis. Delapan tahun kemudian, di Metropole saja jumlahnya berlipat sepuluh kali-200 ribu orang! Metropole adalah negara induk yang terpisah dari daerah jajahan.

Orang tuaku selalu waswas bila berbelanja ke Place Dupont. Mereka sering bilang begini: "Di tengah kerumunan orang-orang Arab, pasti ada beberapa yang berjuang secara diam-diam untuk kemerdekaan negerinya." Aku tak tahu pasti apakah memang seperti itu. Tapi suatu malam terdengar bunyi tembakan. Esok harinya, kami menemukan sesosok mayat pria Aljazair di tengah jalan. Orang-orang berkerumun dan bergumam: "Dia dibunuh milisi Prancis." Aku, yang kala itu masih bocah, juga tak tahu pasti sejauh mana kebenarannya.

Lalu, Perang Aljazair meletus pa-da 1954. Pada 1962 negeri itu merdeka. Setelah perang usai, datang ribuan Harkis--sebutan bagi laki-laki Aljazair yang berperang untuk Prancis, dengan iming-iming kewarganegaraan. Mereka disebut orang Prancis muslim. Pada awal tahun 70-an, orang-orang Harkis dimasukkan ke kamp kerja Kehutanan Prancis. Mereka tak punya pilihan lain kecuali tunduk karena takut kehilangan kewarganegaraan. Sejak itu, hampir semua migran Aljazair pindah ke pinggir kota. Mereka tinggal di Habitation a" Loyer Moderé (HLM), apartemen baru yang murah dan disubsidi pemerintah. Sejak awal 70-an kampung kelahiranku tak lagi seperti "Kampung Arab". Mereka sudah pindah.

***

Suatu hari pada musim panas 1983, Les Minguettes, kawasan pinggiran Kota Lyon, dilanda rusuh. Para pemuda generasi kedua migran-mereka lahir di Prancis-dilanda frustrasi. Salah satu kebiasaan mereka adalah bermain "rodeo", menunggangi mobil-mobil curian. Hari itu, setelah puas main "rodeo", mereka membakar habis mobil-mobil tersebut.

Pemerintah sosialis Prancis mengatasi kejadian itu dengan membongkar apartemen di Minguettes, menggantinya dengan permukiman yang lebih manusiawi. Dua minggu itu, Toumi Djaidja-tokoh pemuda Les Minguettes-ditembak saat mencoba menarik anjing polisi yang sedang menggigit kaki temannya. Sepulang dari rumah sakit, Toumi menonton film Gandhi (Richard Attenborough, 1982). Film itu membuat dia bersemangat menuntut persamaan hak dan melawan rasisme.

Pada waktu itu aku baru pulang dari Afrika Selatan.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…