Kh Maruf Amien: Tak Cukup Dengan Fatwa
Edisi: 41/34 / Tanggal : 2005-12-11 / Halaman : 44 / Rubrik : WAW / Penulis : Wijanarko, Tulus , Abidien, Zed ,
Kesibukan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia itu kian bertambah setelah dia ditunjuk sebagai Ketua Tim Penanggulangan Terorisme (TPT), pekan lalu. Inilah tim yang dibentuk oleh departemen itu dan MUI yang tugas utamanya merumuskan makna jihad dan menyebarluaskannya ke masyarakat. Dalam tim ini, Maruf akan mengomandani personel-personel dari MUI, Departemen Agama, dan organisasi keislaman lainnya.
Pembentukan tim itu agaknya tak sepi dari kritik. Sorotan terutama ditujukan pada netralitas tim yang dibentuk setelah para ulama dan tokoh agama diundang Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Lho, ini bentuk tanggung jawab ulama setelah mencermati perkembangan terorisme. Apa tidak boleh? kilah Maruf
kepada Tulus Wijanarko dan Zed Abidien dari Tempo, serta fotografer Ramdani yang menemuinya, pekan lalu, untuk sebuah wawancara.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nawawiyah, Banten, ini juga berbicara soal agenda utama majelis dalam melawan jepitan liberalisme dan radikalisme Islam, serta pertikaian di tubuh PKB yang pernah didirikannya dulu. Berikut petikannya.
Apa latar belakang pembentukan Tim Penanggulangan Terorisme (TPT)?
Awalnya, kami bertemu Wakil Presiden dan di sana memperoleh penjelasan tentang VCD teroris serta beredarnya buku karangan Imam Samudera. Kami berkesimpulan terorisme tak cukup ditanggulangi hanya dari segi keamanan saja, tetapi juga perlu dihadapi dari segi keagamaan karena ternyata menyangkut masalah pemahaman keagamaan. Maka, dibentuklah Tim Penanggulangan Terorisme ini. Para kiai serta tokoh yang hadir semua sepakat dengan ide tersebut.
Pemahaman keagamaan seperti apa yang Anda maksud?
Misalnya, pikiran para teroris tentang jihad. Memang, jihad, merupakan bagian dari ajaran agama Islam karena memang ada ayat-ayatnya. Jihad itu bisa berarti perang, tetapi jihad juga berarti perbaikan sungguh-sungguh dalam semua aspek. Tetapi para teroris menganggap jihad sebagai ofensif belaka. Artinya, mereka terus melakukan peperangan. Padahal, para ulama menganggap perang hanya dilakukan dalam rangka defensif. Artinya, ketika jalan damai, jalan dakwah, sudah tersumbat, perang baru bisa dilakukan. Jadi, perang itu terpaksa dilakukan jika tidak ada jalan lain.
Untuk konteks Indonesia, syarat perang belum terpenuhi?
Ya, Indonesia bukan wilayah perang, darr al-harb, tetapi wilayah damai, wilayah aman, darr as-salam, dan wilayah dakwah, darr ad-dawah. Itu merupakan keputusan para ulama dan Fatwa MUI tahun 2003. Jadi, memerangi orang di sini tidak dibenarkan. Pengeboman itu pun merupakan perbuatan teror karena mengorbankan orang tak bersalah. Dalam Islam harus jelas siapa yang diperangi agar tidak ada korban yang tak perlu.
Bagaimana dengan Ambon dan Poso, yang oleh mereka dianggap sebagai wilayah perang?
Menurut saya bukan.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…