Jumat Putih Dan Keranda Di Yogya
Edisi: 13/22 / Tanggal : 1992-05-30 / Halaman : 14 / Rubrik : NAS / Penulis : THA
GOLONGAN putih alias golput, kata bekas Menteri Penerangan Ali Moertopo,
ibarat "kentut". Baunya tercium, tapi barangnya tak terwujud. Arief Budiman,
salah seorang tokoh Angkatan 66 yang kini staf pengajar Universitas Satya
Wacana Salatiga, ketika itu menjawab sindiran tadi dengan mengumumkan
proklamasi golput di Jakarta, tepat sebulan sebelum Pemilu 1971.
; Sejak itu, isu golput sering hidup lagi menjelang pemilu. Bentuknya bisa
pamflet, poster, selebaran, atau tanda gambar segi lima kosong di berbagai
sudut kota. Dan sudah lazim pula, selalu ada serangan dari Pemerintah atas
kaum yang kerap menyerukan bahwa tak memilih adalah hak mereka.
; Kini, sesudah 21 tahun lewat, ternyata golput sudah lebih dari sekadar
"kentut". Golput sudah kelihatan "barangnya". Di Yogyakarta, kaum golput
sudah turun ke jalan-jalan, membuat mimbar bebas di kampus, atau mengarak
keranda dan meletakkannya di jalan-jalan kemudian dibacakan tahlil yang katanya
untuk menghormati arwah demokrasi. Golongan yang dulu sungkan untuk
mengekspresikan diri itu kini seperti unjuk diri dan bahkan berkampanye agar
rakyat tak usah mencoblos.
; Kampanye golput ini merisaukan bekas pimpinan Muhammadiyah K.H. A.R.
Fakhruddin, yang menetap di Yogya. Pak AR, begitu dia biasa dipanggil, sampai
perlu membuat surat terbuka di Kedaulatan Rakyat, edisi Jumat pekan lalu.
Isinya menyerukan pada massa PPP dan PDI agar jangan terpengaruh ajakan
bergolput. Disebutnya, umat PPP yang golput berdosa, dan umat PDI yang golput
berkhianat kepada patriot-patriot bangsa.
; Pada TEMPO, Kiai Fakhruddin menjelaskan, ia menulis surat itu lantaran
melihat bendera dan tanda gambar PPP dan PDI diturunkan di Yogya. Dan bendera
putih dikerek. "Kalau sampai golput, yang rugi umat Islam," katanya. Memilih
pemimpin yang baik melalui pemilu adalah wajib. "Bila yang wajib ini tak
dikerjakan, saya dosa pada Allah. Semua pekerjaan harus dipertanggungjawabkan
pada Allah, meski hanya urusan dunia," tutur Kiai Fakhruddin.
; Setuju atau tidak, tentu terpulang kepada umat. Tapi, apa yang sebenarnya
terjadi di Yogya? Barangkali, cerita bisa diawali dari turunnya SK Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu pekan lalu. Isinya melarang pawai dengan
sepeda motor dalam masa kampanye. Kebetulan, sehari setelah SK tadi keluar,
giliran kampanye jatuh pada PDI, yang dalam putaran sebelumnya berhasil
mengumpulkan sekitar 200 ribu massa. Pihak PDI rupanya menilai, SK ini sengaja
untuk menghambat massanya.
; Dan gelombang protes pun mulai bermunculan. Mulanya, saat lepas magrib Kamis
pekan lalu, beberapa kelompok pemuda menurunkan tanda gambar serta bendera PDI
dan PPP.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?