Seto Mulyadi: Anak Bukan Milik Orang Dewasa
Edisi: 02/35 / Tanggal : 2006-03-12 / Halaman : 36 / Rubrik : WAW / Penulis : Wijanarko, Tulus , Basral, Akmal Nasery, Parera, Philipus
BERBAGAI kasus kekerasan terhadap anak membuat Seto Mulyadi, 55 tahun, mesti menyambangi banyak tempat. Suatu saat pria yang akrab disapa Kak Seto ini mesti terbang ke Kanada untuk menjadi saksi ahli dalam pengadilan warga Indonesia untuk kasus kekerasan anak.
Kali lain, Kak Seto menyusuri pojokpojok perkampungan di kawasan Sunter, Tanjung Priok. Di sana ia mengunjungi Siti Ihtiatus Soleha, 8 tahun, yang tinggal di rumah neneknya karena di rumah sendiri ia disiksa sang ayah. Sekadar mengurangi derita anak itu, Kak Seto selama satu jam mendongeng kisah âPak Buayaâ.
Kegiatan-kegiatan itu hanyalah sebagian kecil dari aktivitas Kak Seto sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dilakoninya sejak 1998. Pria ramah ini giat mengkampanyekan penggunaan UU Perlindungan Anak, bukan KUHP, dalam kasus-kasus yang melibatkan anak-anak.
Kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat beberapa tahun terakhir. âTetapi itu sebenarnya hanya gunung es saja,â kata penerima penghargaan Peace Messenger Award (1987) dari Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar. Selama ini, menurut dia, banyak sekali hak anak yang sudah dilanggar oleh anggota rumah tangga dan negara. Tewasnya Dede Arjuandri, 4 tahun, di tangan ayahnya sendiri dan diajukannya Raju, 8 tahun, ke pengadilan orang dewasa karena berkelahi dengan teman hanya beberapa contoh.
Kamis pekan lalu, Kak Seto menerima Tulus Wijanarko, Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo. Penampilannya tak berubah: senyum terkembang dengan rambut lurus menutupi dahi. Meski umur bertambah, ia juga tetap dipanggil Kak Seto. âBahkan mertua saya pun memanggil Kak Seto,â katanya geli.
Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kekerasan terhadap anak ini seperti gunung es: kelihatan hanya puncaknya. Baru setelah ada perhatian dari banyak kalangan, gejala ini mulai terungkap. Seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah bercerita pada saya, dulu di Kepulauan Riau bukan hal yang aneh jika melihat keranjang buah-buahan berisi bayi. Diapakan bayi-bayi itu? Mereka dijual untuk dijadikan pekerja seks atau buruh. Bahkan ada yang organ tubuhnya diambil. Dengan gencarnya sosialisasi UU Perlindungan Anak, permukaan gunung es itu mulai turun.
Di lapisan masyarakat mana kekerasan ini banyak terjadi?
Di semua lapisan: bawah, menengah, maupun atas. Temuan Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, 80 persen kekerasan domestik dilakukan para ibu. Tidak berarti ibu lebih sadis, tetapi mungkin karena mereka lebih banyak di rumah, jadi lebih banyak menanggung stres.
Kenapa ini terjadi?
Ini disebabkan paradigma keliru orang dewasa tentang anak. Orang tua menganggap anak adalah hak milik. Di sekolah, guru menganggap anak di bawah kekuasaan mereka. Sementara petugas (polisi) di lapangan merasa wajar menggebuki anak yang ditangkap, karena anak dianggap warga negara kesekian. Itu semua awal kekerasan. Lalu…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…