Dalam Pelukan Gedung Tua

Edisi: 35/34 / Tanggal : 2005-10-30 / Halaman : 118 / Rubrik : PJL / Penulis : Sholihin, Burhan

DI ujung pagi itu San Francisco masih menggigil. Aku memulai hariku dengan berjalan kaki mengitari kepungan gedung-gedung tua, yang kebanyakan berarsitektur Victorian Inggris. Inilah pesona yang memikatku sejak aku menjejakkan kaki di kota ini. Aneka rupa bangunan tua yang didirikan sejak era 1800-an itu masih berdiri kukuh. Bahkan angkuh. Mereka seakan mengejekku, ”Bangunan tua di Jakartamu sudah rompal semua, bukan?”

Gedung-gedung tua itulah salah satu kekayaan San Francisco yang memikat sedikitnya 15 juta turis, lokal maupun asing, datang ke kota ini saban tahun. Tua itu indah, begitulah yang dijual kota ini. Apa saja yang tua dikemas jadi menarik, dari berderet-deret museum, penjara tua yang kejam, Alcatraz, sampai cable car (satu gerbong kereta tua yang dijalankan dengan listrik). Bahkan ada tur ke gedung-gedung tua yang berhantu. Acaranya selalu dimulai setelah matahari menyelinap dari langit.

Ketika melawat ke kota itu bulan lalu, aku memilih petualanganku sendiri, menengok bangunan tua di San Francisco dengan berjalan kaki sampai gempor. Penjelajahanku dimulai dari Union Square. Ini semacam alun-alun kecil, tapi bentuknya kotak. Pada era Perang Saudara di Amerika dari 1861 sampai 1865, tempat ini sering dijadikan tempat berkampanye untuk memompa semangat para prajurit. Ada sebuah patung dewi kemenangan berusia lebih dari seabad berdiri di tengah-tengahnya.

Alun-alun itu dikitari berbagai butik mewah—mulai dari Macy’s Store, Salvatore Feragamo, Donna Karan, Levi’s, Banana Republic, hingga pakaian dalam Victoria’s Secret yang harga satu setnya bisa sama dengan gaji wartawan di Jakarta. Mataku tiba-tiba tertambat pada sesuatu. Bukan selarik…

Keywords: -

---

Foto Terkait