Riau, Negeri Sahibul Kitab

Edisi: 33/34 / Tanggal : 2005-10-16 / Halaman : 67 / Rubrik : IQR / Penulis : Loebis, Amarzan , ,


Raja Ali Haji, bintang sastrawan Melayu yang paling mencorong di abad ke-18-19, wafat pada 1808. Dunia susastra dan penerbitan Melayu Riau tidak tenggelam sepeninggal sosok kelahiran Penyengat itu. Tapi kemudian kita melihat dua kejadian sambung-menyambung: Indonesia merdeka pada 1945, dan dunia tulis-menulis Riau yang dekat dengan uluran tangan kolonial merasa terpinggirkan.

Kini zaman reformasi, dan Riau mencengangkan kita. Sementara rata-rata daerah hanya menerbitkan 12 judul buku per tahun, Riau menghasilkan lebih dari seratus. Tempo mencoba menangkap fenomena ini, merasakan denyut dan melacak latar belakang gelombang penerbitan di daerah itu.

”…kita menerima kasihlah akan surat Hikayat Sultan Abdul Muluk yang sudah sahabat kita nazamkan dengan bahasa Melayu (Johor) yaitu dengan disyairkannya atas peri yang amat kepandaian sehingga jadi kita heran tercengang daripada arif bijaksananya dan pahamnya sahabat kita.”

”Maka hikayat itu kita suruh cetak atau tera serta menzahirkan dengan nama sahabat kita supaya jadi masyhur pada sebelah dunia pihak masyrik dan maghrib itu. Lagipun hendaklah kita salinkan itu pada bahasa Olandawi, supaya nama sahabat kita dengan nama kita jadi disebut orang dengan pujipujian yang patut itu adanya.”

WARKAT itu ditulis Roorda van Eysinga, seorang pegawai bahasa di Batavia. Ditujukan kepada Raja Ali Haji, sebagai balasan atas surat beliau pada 6 Februari 1846. Raja Ali Haji terkagum-kagum akan kitab Taj al-Salatin yang disunting dan dicetak Roorda van Eysinga melalui proses tipografi di Batavia, pada 1827.

Karya itu dicetak dalam dua bahasa, dan Raja Ali Haji tak menemukan satu pun cacat cela dalam cetakan itu, seperti yang terjadi pada naskah serupa miliknya. Roorda van Eysinga kemudian menghadiahi Raja Ali Haji sebuah edisi Hikayat Sri Rama, yang diterbitkannya di Amsterdam pada 1843. Raja Ali Haji membalasnya dengan sebuah naskah Syair Sultan Abdul Muluk.

Adalah Medhurst, seorang misionaris Inggris, yang memperkenalkan teknologi percetakan litografi di Asia Tenggara pada 1828. Paling tidak, demikianlah yang dinukilkan Jan van der Putten dalam karangannya, Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak, yang tersunting di dalam buku Kandil Akal di Pelantar Budi (Al-Azhar dan Elmustian Rahman, Penerbit Yayasan Kata, 2001).

Litografi, atawa teknik cap batu, relatif murah, tak memerlukan persediaan huruf. Setiap satu halaman tulis bisa langsung dicetak. Tanda baca, atau tanda-tanda lain yang ”luar biasa”, dapat dibuat dan dinukilkan dengan mudah. Aksara apa pun bisa dibentuk menurut keinginan pemilik, pengarang, tukang cetak, bahkan khalayak pembeli.

Mendahului berkembangnya industri percetakan litografi di Singapura, setidak-tidaknya ada tiga tempat di Nusantara yang mempunyai percetakan litografi milik orang bukan Barat. Pertama di Palembang, milik Kemas Haji Muhammad Azhari, pada periode 1848-1854. Kedua milik Husain al-Habsyi di Surabaya, 1853, yang menerbitkan buku Sharaf al-An’am. Dan yang ketiga di Pulau Penyengat, Riau Kepulauan, pada 1850-an.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…