Agum Gumelar: Prestasi Itu Harus Dibeli
Edisi: 45/34 / Tanggal : 2006-01-08 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : Wijanarko, Tulus, ,
SETELAH babak belur di arena SEA Games XXII, Manila, bulan lalu, dunia olahraga Indonesia segera menghadapi arena yang lebih berat, Asian Games 2006. Bayang-bayang pesimisme bahwa Indonesia bisa âbicaraâ di pesta bangsa-bangsa Asia menggelayut begitu kuat.
Maklum, SEA Games Manila seperti titik kulminasi perkembangan olahraga Tanah Air. Dengan hanya meraih 49 medali emas, 79 perak, dan 89 perunggu, Indonesia terjungkal ke peringkat kelima di bawah Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Inilah prestasi terburuk Indonesia sejak ikut pertama kali pada 1977. Waktu itu Indonesia langsung menjadi raja hingga sembilan kali SEA Games berikutnya.
Apa yang terjadi dalam pembinaan olahraga nasional? âMasih ada cabang olahraga yang pembinaannya memakai cara-cara tradisional,â ujar Ketua KONI Pusat, Agum Gumelar, kepada Tulus Wijanarko dan fotografer Gunawan Wibisono dari Tempo, pertengahan Desember lalu. Agum juga mengakui pembinaan olahraga di negara-negara tetangga sudah lebih siap.
Meski demikian, saat ditemui di ruang kerjanya untuk wawancara, Agum tak kehilangan semangat. Ia tetap optimistis dunia olahraga Indonesia masih punya masa depanâtentu dengan sejumlah syarat. Berikut petikannya.
Apa evaluasi Anda melihat kegagalan di SEA Games kemarin?
Kami sudah menyiapkan kontingen sebaik-baiknya sejak delapan bulan sebelum SEA Games. Ada pemusatan latihan dan pengiriman sekitar 100 atlet latihan ke luar negeri. Itu menunjukkan keseriusan dalam menyiapkan atlet. Setelah persiapan, ada evaluasi dengan melibatkan para pengurus besar (PB) induk cabang olahraga. Dari evaluasi itu muncul perkiraan perolehan medali, yakni sekitar 60 emasâdan tak akan lebih dari 70 emas. Waktu itu timbul reaksi kami dinilai pesimistis, tetapi ingat, ini perkiraan, dan bukan target. Harus dibedakan antara pesimis dan realistis.
Mengapa angka itu Anda sebut realistis?
Pertama, ada keinginan kuat tuan rumah menjadi juara umum dengan menghalalkan segala cara. Keinginan menjadi juara umum adalah hal yang wajar, tetapi mestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Apa indikator mereka menghalalkan segala cara? Misalnya, tuan rumah mempertandingkan lima cabang olahraga yang hanya dikuasai sedikit negara. Kita tak ikut karena bahkan namanya pun baru mendengar. Lima cabang ini menyediakan 90 set medali. Coba bayangkan. Kemudian di arena pun soal penjurian muncul masalah, terutama untuk cabang-cabang tak terukur, misalnya di cabang panahan kita hampir berantem karena ada perubahan angka. Di selancar angin, kemenangan Oka Sulaksana dianulir dan diberikan kepada atlet tuan rumah yang sebelumnya sudah didiskualifikasi.
Pertimbangan lainnya?
Lihat Singapura. Pemain badminton dan tenis mejanya semua dari Cina. Makanya mereka bertekad melakukan sapu bersih. Maka, ketika atlet kita, Husein, juara di tunggal putra tenis meja, saya katakan dia telah mengalahkan pemain Cina, bukan Singapura. Filipina juga demikian. Atlet biliar mereka, Aleks Pagulayan, sudah beberapa kali menjadi juara dunia dengan bendera Kanada. Eh, kemarin ujug-ujug dia main untuk Filipina. Juga, pemain bola voli pantainya, bule…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…