Membangkitkan Kampung Terendam

Edisi: 44/34 / Tanggal : 2006-01-01 / Halaman : 36 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : , ,

AIR bah yang tumpah pada 26 Desember 2004 mengubur Lamsenia selama-lamanya. Desa itu tamat dalam sekejap—nyaris menyatu dengan laut. Pada saat pasang, ketinggian air bisa menyentuh paha orang dewasa. Lamsenia terletak di bibir pantai, menjadikannya sasaran empuk tsunami. Banyak warga desa tewas. Penduduk yang tersisa 108 keluarga. Kebanyakan duda dan yatim piatu. Karena Lamsenia sudah terkubur air, warga harus pindah, mendirikan kampung baru di tempat yang lebih aman.

Ada lahan 1,5 hektare di Blang Ateuk. Jaraknya satu kilometer dari kampung lama. Tanah itu diperoleh dengan harga murah. Bahkan ada pemilik yang memberi tanah dengan cuma-cuma. Bagaimana tanah itu dibagi? Wartawan Tempo Mardiyah Chamim menulis kisah unik pembagian tanah cara Lamsenia dalam bukunya, Sejarah Tumbuh di Kampung Kami. Dibantu Yayasan Puter—sebuah lembaga masyarakat—warga Lamsenia melakukan survei lapangan.

Survei dibuat pada siang hari. Hasilnya dibahas di malam hari. Pembahasan dilakukan di rumah keuchik—semacam lurah di Aceh—atau di pelataran meunasah (surau). Hasil kerja keras mereka berupa rancangan desa, berikut pembagian tanah versi baru, tuntas awal Mei lalu. Para tetua desa menandatangani dokumen pembagian tanah yang ditulis dalam bahasa Aceh, Arab, dan bahasa Indonesia. Peresmian peta desa baru dilangsungkan pada bulan yang sama. Warga puas dan riang gembira. Sesudah kesepakatan diparaf, seluruh penduduk berfoto bersama. Malam itu Lamsenia seperti terlahir kembali

Amukan tsunami yang didahului gempa pada 8,6 skala Richter memusnahkan hampir semua batas tanah di sejumlah kota. Padahal tanah termasuk soal mahapelik dalam program pembangunan kembali di seantero wilayah bekas tsunami. Banyak area rusak total sehingga warga setempat harus direlokasi ke tempat lain.…

Keywords: -

---

Foto Terkait