Lebih Baik Terima Dulu

Edisi: 44/34 / Tanggal : 2006-01-01 / Halaman : 50 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : , ,

DERETAN rumah baru itu lengang tanpa penghuni. Setengah tembok dengan dinding atas terbuat dari papan kuning muda. Jaringan listrik belum masuk karena itu malam sangat gelap di Desa Monikeun, Kecamatan Lhok Nga, Aceh Besar.

Tak jauh dari situ, di wilayah yang masuk Desa Wueraya, lebih banyak lagi unit rumah baru tipe 36 meter persegi dengan warna cat serupa. Nah, ada yang menarik soal warna cat rumah ini, karena tak semua warga Aceh korban tsunami bebas memilihnya saat ini. Warna juga menjadi semacam bendera, siapa di belakang pembangunan rumah-rumah itu.

Warna kuning muda dengan kombinasi biru langit di bagian tembok bawahnya seperti di Weuraya itu menunjukkan bahwa rumah itu dibangun atas bantuan Mercy Malaysia. Ada beberapa rumah yang memiliki kamar mandi di bagian belakang, bercat hijau, sebagai tanda bahwa sarana sanitasi itu dibangun secara kolaborasi oleh Oxfam dari Inggris Raya.

Tak semua lembaga begitu, tentu saja. Organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Urban Poor Lingkage (Uplink), yang kebagian jatah membangun 3.000 rumah di 25 desa, sejak awal menyerahkan urusan warna itu kepada calon penghuninya. Begitu juga Posko Jenggala, yang disponsori antara lain oleh pengusaha minyak Arifin Panigoro, yang membangun 200 rumah lebih di Lhok Nga dan Blang Oi.

”Mereka tentukan warnanya dan kami belikan catnya,” kata Sulistiono, salah satu relawan Uplink yang mengawasi pembangunan rumah di Ulee Lheue dan Peukan Bada. Tipe rumah standar tersedia, tapi kalau pemilik ingin modifikasi boleh juga. ”Asal kelebihan biaya mereka tanggung sendiri.”

Beragamnya lembaga yang bekerja membangun perumahan di Aceh ini jadi menimbulkan semacam efek tersendiri pada warga. Ada…

Keywords: -

---

Foto Terkait