Tekor Abis Demi Subsidi

Edisi: 27/33 / Tanggal : 2004-09-05 / Halaman : 118 / Rubrik : EB / Penulis : Hadiwinata, Thomas , Usman, M. Syakur ,

Pemerintah memilih tidak menaikkan harga BBM. Pelaku pasar tak risau defisit.

SPEKULASI meniup harga minyak dalam dua pekan terakhir. Serangkaian alasan, fundamental ataupun tidak, menjadi bahan bakar yang menerbangkan harga minyak hingga mendekati harga US$ 50 per barel (baca, Dari Najaf sampai New York). Dua pekan lalu harga minyak mentah di pasar New York ditutup pada sekitar US$ 47,53 per barel. Di London, harga hanya berselisih tipis, sekitar US$ 43,33.

Harga setinggi itu bagaikan bumi dan langit jika disejajarkan dengan asumsi yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004. Untuk tahun ini, pemerintah menyusun anggaran dengan patokan rata-rata harga minyak di pasar internasional US$ 22 per barel. Naik-turunnya harga minyak akan merombak anggaran secara besar-besaran.

Di bagian penerimaan, misalnya, pos pendapatan dari sektor minyak dan gas masih cukup besar, sekitar 12 persen dari total penerimaan yang dipatok Rp 239 triliun. Di sisi pengeluaran anggaran pun asumsi harga minyak memainkan peran tak kecil. Harga minyak antara lain dipakai menghitung besaran subsidi (tahun ini pemerintah menganggarkan pembelian minyak 60 juta kiloliter) dan bagi hasil yang dibayarkan ke daerah.

Itu yang menyebabkan Presiden Megawati Soekarnoputri merasa perlu menyurati DPR agar mempercepat pembahasan perubahan APBN tahun ini. "Ada perubahan pada asumsi harga minyak dan besaran APBN-nya," kata Menteri Keuangan Boediono di depan sidang…

Keywords: -

---

Foto Terkait