Admiral Sida-sida Penebar Damai

Edisi: 27/34 / Tanggal : 2005-09-04 / Halaman : 64 / Rubrik : LAY / Penulis : Idayanie, L.N. , Sohirin, Sunudyantoro

MATAHARI belum terjaga dari tidurnya, namun Kelenteng Tay Kek Sie sudah ramai pengunjung. Di tengah pendar kemerahan lampion, orang lalu-lalang, sibuk menata arak-arakan. Bendera Merah Putih di barisan terdepan. Diikuti bendera kebesaran Kelenteng Tay Kak Sie, bendera kebesaran Kelenteng Sam Poo Tay Djien atau Sam Poo Kong, nama lain Cheng Ho.

Iring-iringan itu masih panjang. Dua gong besar, benda-benda pusaka, liong, juga pasukan pengawal berkuda. Aroma dupa menyengat mengiringi perjalanan kio atau tandu patung Tay Tjiang, pengawal Laksamana Cheng Ho. Paling belakang, patung Sam Poo Tay Djien, nama lain Cheng Ho. Itulah puncak peringatan 600 tahun Laksamana Cheng Ho di Semarang, Kamis, awal Agustus.

Tempat itu disebut-sebut sebagai petilasan Cheng Ho, meski masih kontroversi. Dalam catatan juru tulis Ma Huan, Kota Semarang tidak termasuk tempat yang disinggahi kapal raksasa itu. Tapi cerita lisan menyebutkan Cheng Ho pernah mendarat di Simongan, Semarang, pada 1413. Pendaratan dilakukan untuk mengobati juru mudi Cheng Ho, Wang Jing Hong, yang sakit keras.

Cerita lisan yang berkembang menyebutkan, petilasan itu pada mulanya adalah masjid, atau tempat untuk sembahyang Cheng Ho ketika ia singgah di Simongan. Namun, pada ekspedisi Cina berikutnya, tempat itu tak menjadi kelenteng karena digunakan untuk sembahyang utusan kaisar dari Cina yang beragama Konghucu.

Sejarawan Slamet Mulyono, dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, meyakini perubahan itu. Sangat mungkin perubahan dari masjid ke kelenteng terjadi pada saat itu. Dalam buku itu juga disebutkan, bangunan Masjid Sam Poo Kong, yang bercirikan atap bersusun, di kemudian hari dijadikan model bangunan Masjid Agung di Keraton Demak dan masjid-masjid lain di Keraton Yogyakarta dan…

Keywords: -

---

Foto Terkait