Naskah-naskah Yang Terlupakan
Edisi: 13/34 / Tanggal : 2005-05-29 / Halaman : 69 / Rubrik : IQR / Penulis : Suyono, Seno Joko , Idayani, Lucia , Nugroho, Heru
BEGITU melewati hutan-hutan cemara yang sunyi, masuklah kami ke wilayah Desa Kendakan, desa di lereng Merbabu yang juga seperti desa-desa di pegunungan lain. Jalanan batu rapi dengan rumput di sela-selanya sehingga tidak licin bila hujan. Udara segar, dan sesekali tercium bau asap lisong.
Sore itu, kami mencari seorang dalang bernama Sumitro. Bertanya-tanya dari kaki sampai lereng gunung, hampir semua warga kenal dan dapat menunjukkan rumahnya. Rumah yang amat sederhana. Kaca jendelanya buram, penuh tempelan stiker para pendaki gunung.
Lelaki itu masih di ladang ketika kami datang. Umurnya 65 tahun, ramah, masih bertelanjang kaki, tangannya kotor oleh lumpur. Ia mempersilakan kami memasuki ruang tamunya yang berlantai plesteran semen yang sudah menghitam. Teh tawar panas dan gula merah dihidangkan. Dari kamarnya yang berdinding gebyok kayu nangka, ia mengambil lontar.
Semuanya ada 35 lempir (daun naskah lontar), katanya dalam bahasa Jawa halus. Ia lalu hati-hati menaruh bundel lontar yang bila dibuka bisa membentuk lingkaran. Ukuran tiap daun sekitar 46 sentimeter panjangnya, dengan lebar 3,5 senti. Telah 30 tahunan ia merawatnya, dan lontar tersebut terlihat tak hitam atau rusak. Aksara-aksara aneh itu masih jelas.
Inilah lelaki yang beberapa tahun silam ditemui oleh Romo I Kuntara Wiryamartana, seorang ahli Jawa kuno, dalam perburuannya mencari lontar di desa-desa pegunungan Jawa Tengah. Lelaki itu menyimpan sebuah lontar langka bernama Putru Sangaskara. Setelah lama tak muncul, dua pekan lalu dalam seminar naskah kuno Nusantara di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Romo Kuntara kembali mengungkit perihal naskah lereng Merapi-Merbabu yang terlupakan.
***
Tahun 1885, sebuah ekspedisi Belanda menyusuri lereng barat Merbabu, sampai ke sebuah dusun bernama Windusabrang. Mereka menemukan sebuah perpustakaan pribadi milik seseorang bernama Kyai Windusana, yang hidup pada abad ke-18.
Perpustakaan itu berisi koleksi ratusan lontar dari Merapi-Merbabu yang bentuk dan sistem aksaranya memiliki ciri khas. Bukan aksara Sanskerta, Kawi, atau aksara Jawa. Ahli waris lontar yang beragama Islam menyebut aksara itu sebagai aksara Budo dan menerangkan bahwa Kyai Windusana dahulu beragama Buddha. Naskah lontar itu kemudian oleh tim ekspedisi diambil untuk perpustakaan Batavia, Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Lontar-lontar Budo itu sebagian kini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, beberapa lainnya di Bibliotheque Nationale di Paris dan British Museum. Entah bagaimana bisa sampai menyebar ke luar negeri. Yang terang, naskah inilah yang oleh Romo Kuntara disebut sebagai manuskrip yang terlupakan.
Hanya sedikit peneliti yang pernah menjamahnya. Bahkan mahaguru sastra Jawa kuno, almarhum Zoetmulder, juga tidak pernah menyentuh lontar Budo ini. Selama menghasilkan magnum opusnya, Kalangwanberisi pembahasan karya-karya…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…