Agum Gumelar: "keputusan Itu Untuk Menghi Ndari Pertumpahan Darah"

Edisi: 50/31 / Tanggal : 2003-02-16 / Halaman : 46 / Rubrik : WAW / Penulis : Budyarso, Edy, Bektiati, Bina, Cholid, Mohamad


AMARAH yang mengguncang jalanan Jakarta itu bergemuruh selama berpekan-pekan. Amarah itu dijeritkan secara sukarela—dalam berbagai "tangga nada"—oleh ibu rumah tangga, mahasiswa, buruh, pengusaha, dan entah siapa lagi. Mereka memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan tarif telepon yang diberlakukan pemerintah sejak 1 Januari silam. Khusus untuk telepon, inilah kenaikan kedua kalinya—dari tiga tahap kenaikan yang direncanakan pemerintah. Tarif baru yang pertama sudah berlaku sejak Februari 2002.

Entahlah. Mungkin karena geraman demonstran dari berbagai sudut kota yang mengalir deras ke lantai sembilan gedung Departemen Perhubungan, tempat Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi Agum Gumelar berkantor. Boleh jadi pula karena ada sebab lain melintas. Yang jelas, pada 15 Januari 2003, Agum tiba-tiba menunda kenaikan tarif telepon saat melakukan dengar pendapat dengan DPR. Kata Agum saat itu, "Setelah melihat kalkulasi yang ada, saya kira tarif telepon bisa ditunda."

Kontan saja beberapa menteri lain yang turut dalam konsultasi tersebut terkaget-kaget mendengar kata-kata Agum. Lebih-lebih, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla, sudah mengatakan bahwa tidak akan ada penurunan tarif dan acara tersebut diniatkan pemerintah semata-mata untuk mendengar pendapat DPR. Apa kata Agum? "Mungkin keputusan itu terkesan mendadak, tapi sudah saya konsultasikan dengan Presiden dan sesama menko tiga hari sebelumnya."

Kejadian itu, suka tak suka, menimbulkan aneka tafsiran. Ada yang menilai betapa tidak kompaknya koordinasi di antara anggota kabinet. Yang lain menyebut, ini cara Agum untuk memaksa rekan-rekan menterinya agar tunduk pada tuntutan demonstran. Ada juga yang melihat tindakan Agum dari sudut pandang yang lain sama sekali: sang Menteri Perhubungan dianggap mengambil langkah cerdas di tikungan untuk menunai popularitas karena "membela rakyat kecil."

Agum menolak tudingan itu. "Kalau cuma ingin populer, saya tinggal mengundang semua wartawan ke kantor dan mengumumkan penundaan harga," ujarnya kepada TEMPO. Bagaimanapun, Agum adalah bekas petinggi militer yang terlatih mengambil keputusan-keputusan cepat dalam saat-saat kritis. Dan hasilnya bukan tidak ada. Pemerintah akhirnya setuju menunda kenaikan tarif dasar listrik, harga BBM, dan tarif telepon. Padahal, hanya beberapa waktu sebelum itu, dalam acara ulang tahun PDIP di Bali, Presiden Megawati bersikukuh menaikkan harga meski dikatakannya itu bukan tindakan populer.

Jika ditelusuri ke belakang, sikap Agum yang berbeda dengan arus besar tidak muncul kali ini saja. Sepuluh tahun lalu, ketika Megawati baru akan menapak menjadi Ketua Umum PDI, Agum sudah mengulurkan tangan. Dalam musyawarah nasional PDI di Jakarta ketika itu, Agum, yang menjabat sebagai Direktur A Badan Intelijen dan Strategis ABRI, yang diberi tugas "mengamankan" musyawarah tersebut, malah melempengkan jalan Megawati yang tidak disetujui rezim Soeharto.

Hasilnya? Agum dilempar dari jajaran elite militer Jakarta ke Medan, Sumatera Utara. Di sana dia menduduki pos sebagai Kepala Staf Kodam Bukit Barisan. Pemindahan ini bisa disebut demosi karena baru kali itu Komandan Komando Pasukan Khusus turun pangkat menjadi kepala staf Kodam.

Ada apa di balik langkah Agum menunda kenaikan tarif telepon?…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…