Komaruddin Hidayat: "kpu Menganggap Kami Pengganggu"
Edisi: 20/33 / Tanggal : 2004-07-18 / Halaman : 51 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
ADA kegairahan baru di pelbagai pelosok Republik. Pemilu 5 Juli 2004 lalu, pemilu presiden langsung pertama kali, membuat jutaan rakyat menggelegak. Liputan dan tayangan penghitungan sementara hasil pemilu di layar televisi menyedot perhatian publik. Tak terkecuali seorang Komaruddin Hidayat, 51 tahun, yang hanyut dalam kemeriahan pemilu. "Pemilu ini jembatan emas untuk keluar dari keterpurukan," ujar Komaruddin Hidayat.
Ambisius sekali, tapi Komaruddin memang layak menggelora. Sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), ia terlibat langsung dengan seluruh ingar-bingar pemilu. Dari Century Tower di kawasan Kuningan, Jakarta, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini memantau tiap tahapan pemilu. Komaruddin memiliki 17 ribu peng- awas di seluruh penjuru negeri. "Untuk menjalankan tugas pengawasan," ujar Komaruddin, "kami menghabiskan dana Rp 400 miliar."
Toh, Komaruddin mengaku tak terlalu berhasil. Dengan kewenangan yang terbatas, Komaruddin merasa Panwaslu kurang bergigi. Undang-undang soal pemilu rupanya membuat posisi Komisi Pemilihan Umum jadi sangat kuat. Akibatnya, ujar Komaruddin, "Mereka cuma menganggap Panwas sebagai pengganggu."
Bagaimana jalannya Pemilu 2004 di mata Panwaslu? Apa saja pelanggaran yang terjadi? Benarkah politik uang menodai pemilu ini? Wartawan TEMPO Setiyardi pekan lalu mewawancarai Komaruddin Hidayat. Berikut ini kutipannya.
Bagaimana Anda melihat pelaksanaan Pemilu 2004?
Kalau dilihat dari atas, ada hal yang sangat menarik dari pelaksanaan pemilu ini. Pemilu 2004 ini merupakan jembatan emas untuk keluar dari keterpurukan bangsa. Selama ini, kondisi sosial-politik kita sangat buruk. Kita dipenuhi wilayah becek akibat perbuatan penguasa di masa lalu. Nah, pemilu punya spirit untuk mengakhiri krisis dan bisa mengangkat kembali harkat Indonesia. Kita kembali bisa berdiri tegak saat berada di luar negeri.
Bagaimana caranya?
Pemilu merupakan sarana untuk melakukan metamorfosis. Seperti seekor anak ayam yang bermetamorfosis saat berhasil keluar dari cangkang. Ada invisible spirit yang membuat anak ayam itu keluar dan tumbuh jadi besar. Hal ini pernah terjadi pada Jerman saat Perang Dunia I dan Jepang saat Perang Dunia II. Mereka sadar ada sesuatu yang salah. Tapi mereka punya semangat dan berhasil keluar dari krisis. Indonesia pun mungkin saja melalui masa sulit ini. Kita punya spirit keagamaan yang merupakan modal spiritual.
Apakah Anda melihat tanda-tanda yang positif dari pemilu presiden?
Ya, jelas sekali. Kita lihat perpaduan pelbagai kelompok di masyarakat. Megawati bergabung dengan Hasyim Muzadi. Itu merupakan pertemuan antara simbol nasionalis dan komunalisme agama. Gabungan SBY dan Jusuf Kalla merupakan pertemuan antara militer nasionalis dan sipil yang pedagang. Ini merupakan tanda-tanda yang sangat positif dan memberikan harapan. Pada level gagasan, pemilu ini menuju suatu grand design yang memberikan harapan baru. Pemilu presiden langsung memberikan kemajuan luar biasa.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…