Panjang Jimat, Mencerbonkan Maulud
Edisi: 10/34 / Tanggal : 2005-05-08 / Halaman : 56 / Rubrik : SN / Penulis : Kalim, Nurdin , Ivansyah,
TAK seperti malam-malam biasa, Kamis pekan lalu Bangsal Prabayaksa, Keraton Kasepuhan Cirebon, bersolek cantik. Warna prada, dengan semburat hijau dan kesumba, mendominasi suasana. Tepat pukul 20.00, Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat menyerahkan Payung Agung kepada putra mahkota, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat. Itulah simbol pelimpahan tanggung jawab memimpin upacara Panjang Jimat, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung.
Kemudian lilin. Berbaris-baris pembawa lilin merah menyala mendahului iring-iringan berbagai perangkat, takzim berkhidmat. Ubo rampe ini dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani dalam sembilan kelompok, disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum diarak ke Langgar Agung sekitar seratus meter ke arah barat.
Ketika kelompok pertama mulai melangkah, mulailah pula Panjang Jimat, upacara tradisional Kesultanan Cirebon merayakan Maulud Nabi Muhammad SAW, pada malam Jumat Wage itu. Barisan lilin itu, yang ditating dikawal para punggawa keraton, melambangkan saat kelahiran Nabi pada malam hari. Di belakangnya bergerak kelompok kedua pembawa manggaran (tangkai kelapa), nagan (ular naga), dan jantungan (jantung pisang), simbol kebesaran dan keagungan bayi yang akan lahir.
Arief Natadiningrat, putra mahkota yang sehari-hari berdinas sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, berada di kelompok ketiga, dinaungi Payung Agung. Pengusaha yang low profile itu tampak sedikit kikuk berkain ketat dan bersengkelit keris, berjalan dalam irama yang agak slow motion, saking dekatnya jarak bangsal dengan Langgar Agung. Kelompok ketiga ini menyiratkan betapa sang bayi kelak akan menjadi pemimpin besar.
Di kelompok keempat, berbarislah rombongan kiai penghulu, semuanya berjubah berserban putih. Rombongan ini diikuti Kembang Goyang dan Boreh, diiringi tujuh piring besar Nasi Rasul atau Nasi Jimat. Selama mengusung Nasi Jimat, kelompok itu melantunkan selawat Nabi. Setelah itu, berturut-turut menyusul kelompok lima hingga sembilan.
Kelompok sembilan adalah iringan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung rangkaian…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.