Dari Balik Jeruji Tanjung Gusta
Edisi: 47/31 / Tanggal : 2003-01-26 / Halaman : 92 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : Dharmasaputra, Karaniya, Patria, Nezar, Fibri, Rommy
DI Penjara Tanjung Gusta, Medan, dengan terpatah-patah Abdullah bin Andah bersumpah. "Demi Allah, saya tidak terlibat," katanya saat ditemui TEMPO, Rabu pekan lalu, dengan kepala terus tertunduk, mencoba mengingat secara rinci peristiwa yang telah yang menimpanya selama ini. "Saya hanya berharap bisa bebas secepatnya. Saya ingin memberi tahu tetangga di kampung bahwa saya tak melakukan perbuatan keji itu," tuturnya sepotong-sepotong dengan logat Aceh yang kental.
Lelaki bertubuh gempal itu memang seperti orang linglung. "Sejak datang ke sini dia sudah stres berat, bahkan hampir hilang ingatan. Badannya tak terurus, berpakaian seenaknya, dan jorok," kata Yunaidhi Isya, kepala pembinaan penjara. Beban yang dipanggul Abdullah memang tak terperikan.
Empat belas tahun silam, di suatu pagi 19 Mei 1989, kampungnya di Blang Peuria Geudong, Aceh Utara, geger. Seorang bocah ditemukan mengapung tak bernyawa di pinggir kali. Keadaannya mengenaskan. Wajahnya biru lebam tanda habis dianiaya berat. Di pinggangnya bergayut sebongkah batu diikat tali nilon. Segera dikenali, mayat itu adalah Heriana Syuhada, bocah berusia sembilan tahun anak warga desa.
Tak pelak, pembunuhan keji itu segera menyedot perhatian luas. Media lokal melaporkannya dengan dramatis. Masyarakat marah dan mendesak aparat menangkap pelakunya segera.
Singkat cerita, polisi yang telah dilapori penculikan Heriana mengendus keterlibatan Syaiful Bahri, seorang pemuda berandalan di desa itu. Karakter tulisan tangannya cocok dengan tulisan di surat ancaman yang diterima keluarga korban. Syaiful pun mengaku.
Tapi polisi tak percaya dia beraksi sendirian. Dengan teknik interogasi "menghajar tulang kering, menjepret mata", Syaiful dipaksa bernyanyi. Tak tahan disiksa, Syaiful lalu menyebut nama Abdullah bin Andah, kernet truk yang bekerja dengan ayah Syaiful. "Seorang anggota polisi pernah mengancam saya. Dia bilang, Bang Lah (nama panggilan Abdullah) saja sudah mengaku, apa saya mau tunggu sampai tulang rusuk saya dipatahkan?" kata Syaiful kepada TEMPO.
Abdullah pun begitu. Di bawah tekanan, lelaki buta huruf ini membubuhkan cap jempolnya pada berita acara pemeriksaan: mengakui kisah keterlibatannya, seperti yang telah diketikkan polisi.
Maka, petaka itu pun datang menerjang Abdullah, yang ketika itu berumur 35 tahun. Di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, majelis hakim yang diketuai Chaidir menyatakannya "bersalah secara sah dan meyakinkan" dan memvonisnya dengan hukuman bui seumur hidup. Bersama Syaiful, Abdullah pun meringkuk di Penjara Lhokseumawe. Upayanya membela diri sia-sia. Putusan pengadilan itu terus…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…