Gula Haram, Siapa Untung?

Edisi: 17/33 / Tanggal : 2004-06-27 / Halaman : 67 / Rubrik : INVT / Penulis : , ,


Akhirnya, Senin pekan silam, urusan gula tiba juga di Mabes Polri. Asosiasi Petani Tebu Rakyat menyeret perkara temuan 56 ribu ton gula yang lama tak bertuan di Tanjung Priok ke Mabes Polri. Tiga nama dituding punya setori di balik timbunan kristal putih itu: PT Perkebunan X, Induk Koperasi Unit Desa, dan PT Phoenix Commodities. TEMPO menelusuri lintasan gula ilegal dari Tanjung Balai di Sumatera Utara, Sampit di Kalimantan Tengah, Port Klang di Malaysia, hingga Tanjung Priok, Jakarta. Dengan total nilai impor di atas Rp 5 triliun per tahun, penyelundupan gula memang bisnis yang melelehkan liur--jauh lebih raksasa dari sekadar 56 ribu ton. Siapa saja pemainnya? Bagaimana pula modusnya? Berikut ini laporannya.

MUSIBAH itu melintas cepat, bagai awan petir yang menghitamkan musim petik petani tebu di seantero Pulau Jawa dan beberapa belahan Sumatera: puluhan ribu ton gula selundupan dari Thailand tiba di Jakarta. Terbungkus dalam karung-karung plastik putih bertuliskan sebaris huruf Thailand, gunungan barang gelap itu mendadak benderang dalam sorotan lampu-lampu kamera televisi pada Sabtu, 12 Juni lalu. Saat itu Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat, dan beberapa staf Bea Cukai melakukan sidak, inspeksi mendadak, pada pukul satu pagi.

Dalam turne selepas tengah malam itu, terungkap ada 56 ribu ton lebih gula impor yang tak bertuan. Dipecah ke dalam dua lokasi penyimpanan di gudang Hobros, Cilincing, dan gudang BGR, Kelapa Gading--keduanya di Jakarta Utara--jutaan butir gula itu beridentitas ilegal. Menerjang aturan batas akhir waktu impor--56 ribu ton lebih gula Thailand itu cuma satu contoh gelombang penyelundupan gula dalam beberapa bulan terakhir.

April lalu, 179 kontainer gula masuk dari Pontianak dan Belawan. Ini melawan aturan perdagangan antarpulau--pasar gula di Jawa hanya boleh dipenuhi oleh produksi gula dari petani tebu Pulau Jawa. Maka, petugas Departemen Perindustrian dan Perdagangan menggiring gula-gula tersebut ke Pulau Laki, lantas memusnahkannya. Catatan TEMPO, ada 12 kontainer gula tersebut yang hilang sebelum diceburkan ke laut.

Belum juga reda berita itu, di Tanjung Priok pada Mei lalu mendaratlah 8.800 ton gula impor. Lagi-lagi ilegal karena melanggar batas waktu impor. Pada 30 April 2004, keran impor dikunci pemerintah sampai waktu yang ditentukan. Tujuannya, melindungi harga gula petani tebu Indonesia, yang baru saja kelar berpanen raya. Apa daya, daya tarik bisnis haram gula memang meneteskan air liur. Coba kita simak sedikit peta perniagaannya.

Indonesia punya pasar raksasa yang disokong oleh 230 juta penduduk. Dewan Gula Indonesia, yang diketuai Menteri Pertanian Bungaran Saragih, mencatat konsumsi gula nasional kita sekarang 3,2 juta-3,5 juta metrik ton per tahun (lihat infografik, Potong Kompas demi Si Manis). Total produksi dalam negeri hanya mampu menyokong 1,7 juta-1,9 juta metrik ton. Artinya? Ada kekurangan sekitar 1,5 juta metrik ton yang harus dipenuhi dengan cara impor.

Harga dasar gula dalam negeri dipatok pemerintah pada angka Rp 3.410 per kilogram (di tingkat eceran mencapai Rp 4.000-Rp 5.000). Alhasil, nilai bisnis yang dilahirkan oleh pasar gula impor…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.