Laksamana Sukardi: "ini Memang Pil Pahit"

Edisi: 46/31 / Tanggal : 2003-01-19 / Halaman : 46 / Rubrik : WAW / Penulis : Prasetya, Adi, Bektiati, Bina, Taufiqurohman, M.


DIA bukan jenderal, walau namanya mirip penyandang bintang empat di Angkatan Laut. Dia "hanyalah" Laksamana Sukardi, orang sipil yang jadi bankir, masuk ke politik, dan kemudian jadi menteri di dua kabinet. Tapi, dalam satu hal, dia agaknya punya kemiripan dengan laksamana yang sesungguhnya saat bertarung melawan badai di tengah laut: ketenangan. Muncul dalam sebuah diskusi di televisi pada pertengahan pekan lalu, Laks—ini sebutan akrabnya—"dibantai" dengan berbagai pertanyaan keras oleh lawan debatnya. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, rasional, tanpa kehilangan senyum.

Di tengah hawa demonstrasi yang mendidih di jalanan Ibu Kota yang memprotes kenaikan harga sepanjang pekan silam, ketenangan itu diperlukan—kendati, barangkali, tak banyak berarti. Minimal sikap yang tenang akan membantu siapa pun untuk berpikir secara dingin—itulah yang dikatakan Laks tatkala memberikan wawancara ini. Ketenangan itu tentu saja juga dibutuhkan untuk memahami bahwa jeritan orang-orang kecil yang melolong dari segala sudut negeri karena kesusahan hidup itu tidak pernah datang dari ruangan hampa.

Dan Laks mengatakan, keputusan pemerintah yang membuat harga-harga meroket, yang membuat nelayan tak lagi melaut atau sebuah keluarga di Muara Angke harus mengecilkan porsi nasi di atas meja makan, juga tidak dicomot begitu saja dari langit. "Ini memang pil pahit. Tapi ini harus kita telan setelah kita terus menunda-nundanya dari zaman Habibie." Laksamana mengaku tidak masuk dalam tim yang menggodok keputusan soal pencabutan subsidi. "Itu tidak di bawah portofolio saya. Jadi, saya akan memberikan pendapat pribadi." Dan toh Laksamana mengatakan paham mengapa langkah itu yang harus diambil. "Walau kami (pemerintah) ini akan menjadi komoditas politis yang enak," ujarnya kepada TEMPO.

Laksamana sendiri bukan berada pada posisi yang "favorit" walaupun ia tidak termasuk "tim perumus kenaikan harga". Ia datang dari PDIP, partai yang kini memerintah, partai yang melabelkan diri sebagai partai orang kecil. Laksamana bergabung dengan partai tersebut pada 1991 dan, bersama Megawati, ia melewati tahun-tahun yang berat di bawah Soeharto. Di tengah miskinnya para profesional di PDI pada masa itu, kehadiran Laks segera menjadi salah satu aset. Ia diminta menjadi bendahara dan kemudian duduk di MPR RI mewakili partai tersebut.

Ketika Abdurrahman Wahid naik panggung menjadi presiden, Laks terpilih menjadi salah satu anggota kabinet. Abdurrahman mendepaknya dengan tudingan korupsi-kolusi-nepotisme. Abdurrahman turun, Laks kembali masuk kabinet bersama Megawati. Toh, ia memutuskan meninggalkan dunia politik dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. "Saya capai. Dan saya sudah berusaha sebaik yang saya mampu," tuturnya.

Datang dari latar belakang perbankan, Laksamana mencatat sejumlah karier cemerlang. Ia menduduki beberapa jabatan puncak di dunia perbankan (lihat boks profil). Majalah Swa memberinya predikat "Banker of the Year" pada 1993. Dia lantas masuk dunia politik, bertahan selama beberapa tahun, dan kini tengah mempertimbangkan untuk meninggalkan arena tersebut.

Dalam posisinya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan BUMN, Laks memutuskan untuk menjual Indosat ke Singapura belum lama ini. Keputusan tersebut kontan mengalirkan kritik pedas…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…