Ali Alatas: "kita Kalah Telak"

Edisi: 01/32 / Tanggal : 2003-03-09 / Halaman : 38 / Rubrik : WAW / Penulis : Manggut, Wenseslaus , Manan, Abdul, Taufik, Ahmad


TERTATA rapi, cermat, kronologis, lembaran-lembaran dalam bundel itu seakan bercerita tentang periode-periode paling mendebarkan dalam sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur—provinsi termuda yang lepas dari Indonesia sejak Agustus 1999. Adalah Ali Alatas, diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri RI—selama tiga periode, di bawah dua presiden—yang menata seluruh catatan tersebut. Isinya adalah upaya diplomatik dan notula rapat kabinet tentang Timor Timur (kini Republik Timor Loro Sa'e), yang sudah terhapus dari peta Indonesia sejak hampir empat tahun silam.

Bundel dokumen itu menjadi amat berarti ketika pekan-pekan ini Ali Alatas muncul di persidangan sebagai saksi kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Menyeret beberapa petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI)—Jenderal (Purnawirawan) Wiranto, antara lain—kasus ini menyita perhatian nasional dan dunia internasional. Ali duduk di kursi saksi di Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta Pusat dua pekan lalu. Dengan lancar dia menjawab pertanyaan Hakim Binsar Gultom saat sang Hakim memeriksa Jenderal Tono Suratman, bekas Komandan Resor Militer 164/Wiradharma, Timor Timur. Sesekali Ali membolak-balik lembaran-lembaran bundel tersebut sebelum menjawab pertanyaan hakim ataupun para juru warta.

Sosok Ali memang tak bisa dilepaskan dari sejarah diplomasi Indonesia untuk Timor Timur. Kenyang menelan kritik dari pihak Barat yang menuding masuknya wilayah tersebut ke Indonesia sebagai buah dari sebuah invasi, Ali dan para koleganya berupaya keras melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengubah citra buruk tersebut. Empat tahun berdiam di New York sebagai Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ali tak kurang-kurangnya berupaya membahas Timor Timur melalui jalur diplomasi. Dia mengatakan, yang terpenting bagi Indonesia adalah mencari jalan keluar bersama untuk mengatasi problem di Timor Timur—bukan soal memiliki wilayah tersebut.

Ali Alatas memang punya keyakinan teguh terhadap jalan diplomasi—betapapun sulitnya sebuah situasi. Itu sebabnya dia menolak upaya jajak pendapat yang dilontarkan bosnya ketika itu, Presiden B.J. Habibie. "Apa pun hasilnya, pasti ada yang sakit hati," ujarnya kepada TEMPO. Mata diplomat tua ini berkaca-kaca ketika pada hari itu, beberapa saat setelah referendum, semua saluran televisi menyiarkan Dili—kini ibu kota Republik Timor Loro Sa'e—dikungkung oleh lautan api. Langit di kota itu kelabu oleh asap. Dan wanita-wanita tua meratapi jenazah anak-anak mereka yang menjadi korban kerusuhan selama berhari-hari.

Meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun, Alex—sebutan akrab Ali Alatas—dijuluki sebagai "pemadam kebakaran" untuk wilayah yang selalu bergolak itu. Pada 12 November 1991, pecah insiden Santa Cruz, yang menewaskan puluhan orang. Alex tampil untuk meredam kemurkaan dunia. Dia meminta semua orang percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat menyelesaikan soal tersebut. Ketika ratusan orang tewas dalam kerusuhan selepas referendum 1999, hujan kecaman menerpa dari segala penjuru. Alex melompat dari satu meja perundingan ke meja perundingan lain untuk meyakinkan dunia bahwa kerusuhan itu bukan bikinan pemerintah Indonesia.

Timor Timur lepas, tapi Ali Alatas tidak pernah "patah hati" dengan upaya diplomasi. Hingga sepuh, dia tetap "berkarier"…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…