Cermin Kejujuran Rita

Edisi: 08/34 / Tanggal : 2005-04-24 / Halaman : 98 / Rubrik : SN / Penulis : Suyono, Seno Joko , Suseno,


SETELAH 21 hari yang melelahkan di kapal laut, akhirnya ia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Waktu itu, 1965, usianya 27 tahun, dan ia telah memutuskan mengikuti Widagdo, suaminya, seorang ahli desain interior, untuk tinggal di Indonesia. Sejak itu, kehidupan Rita Wizemann, perempuan kelahiran Rotwell, Jerman, itu, mungkin banyak berubah.

Rita sosok yang teguh. Prinsip Bauhaus, pelopor gerakan modern Jerman, yang diserapnya saat ia masih muda dan kuliah di Staatliche Akademie der Bildenden Kunste, tetap dipegangnya kuat-kuat sampai sekarang. Apa yang diperolehnya dari sekolah seni rupa dan desain bergengsi di Stuttgart, Jerman, yang didirikan pada abad ke-18 itu selalu mewarnai kreasi-kreasinya yang mengandung dua ciri: kejujuran bentuk dan kejujuran sifat bahan.

Rita kini 67 tahun dan telah hampir setengah abad berkarya di Indonesia. Di Galeri Nasional, 100 patung—termasuk karya-karya baru dan lama—membentuk semacam retrospeksi atas kreativitasnya, menunjukkan hal itu. Kita melihat keindahan muncul dari pengolahan kontras elemen-elemen geometris yang paling dasar: bidang dan garis. Patung-patungnya terkesan eksak, dalam arti penuh perhitungan keteraturan dan keseimbangan.

Selama puluhan tahun itu, Rita sama sekali tak tergoda untuk menampilkan figur. Bahkan ketika berdiri di hadapan karya-karyanya yang berjudul Gadis, Family, Young Woman, Young Girl, Marlin, Gelombang Hasrat, Pasangan, Kemben, sedikit pun tak ada citra torso secara wadag. Bagi mereka yang tak cocok dengan pendekatan Rita tentunya akan merasa karya-karya Rita terlalu murni, terlalu antitradisi. Minim letupan, kurang merak, kurang gurih. Jauh dari binal. Sebuah karya yang terlampau formal, sangat menahan diri, sehingga kadang dingin.

Sebaliknya, mereka yang suka akan mendapatkan sesuatu yang ritmis. Suatu gambaran kekayaan variasi dan irama dasar yang tak monoton. Suatu sikap yang memiliki visi kuat dan mewakili sebuah pemikiran besar akan keinginan pencarian inti.

”Prof Hannes Neuner, guru saya, menekankan agar dalam mencipta jangan terlalu banyak unsur riasan atau hiasan.” Sore itu, kepada Tempo, di tengah persiapan pamerannya, ia mengenang masa-masa sebagai mahasiswi. Menurut Rita, guru besarnya itu adalah asisten langsung dari para pendiri Bauhaus seperti Walter Gropius dan Lazlo Moholy Nagly. Guru-gurunya mengungkapkan agar tidak berlebihan menampilkan sesuatu, seperlunya saja, tak menambahkan hal aksesori dan mengikuti sifat khas bahan.

***

Hidup di Indonesia, berjarak dari tanah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23

Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…

M
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25

Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…

R
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25

Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.