Festival Keselamatan Di Bulan Kedua
Edisi: 07/34 / Tanggal : 2005-04-17 / Halaman : 67 / Rubrik : LAY / Penulis : Idayanie, L.N. , Heru C.N., Rosyid, Imron
Layar kali ini mengurai tradisi Saparan di berbagai daerah di Yogya dan Jawa Tengah. Mengungkap hubungan bulan ini dengan bulan ini dengan bulan Suro, yang bagi tradisi Jawa dianggap bulan wingit...
SAMINI dan Suparti masih megal-megol. Samberan sampur penari asal Banjarnegara, Jawa Tengah, ini membuat Pak Tua semakin berani. Dan Pak Tua dengan segenap kepala tertutupi uban itu hanyut dalam tetabuhan gamelan, senggakan para wiyogo, dan tentu saja Samini dan Suparti. Ia melupakan rematik. Kini gerakannya lincah, menggoda. Namun, Samini dan Suparti, masing-masing 38 tahun dan 30 tahun, hanya tersenyum, mengelak dan menjauh.
Pendopo rumah Kepala Dusun Krandegan, Sumarsono, hanya diterangi petromaks. Maklum, selepas magrib, listrik mati. Di atas panggung, di ruang tengah, ada Pak Tua, Samini, dan Suparti berjoget. Penonton bisa melihat betapa lelaki itu membisikkan sesuatu. Ajakan bercinta?
Itulah tayub Sawanggati, tayub yang digelar di ketinggian lereng Gunung Sumbing. Suatu Rabu malam, pertengahan Maret, warga Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, menyelenggarakan tayub yang merupakan bagian dari ritual Saparan. Dulu, desa itu hanya dihuni tujuh keluarga. Dipodrono, nenek moyang mereka, bernazar: bila penduduk mencapai 40 keluarga, akan menanggap tayub. Cerita itu dibenarkan Sumarsono, Kepala Dusun Krandegan. "Nanggap tayub ini sebenarnya nazar pendiri desa dan ulang tahun desa," katanya.
Para artis tayub Sawanggati meliputi dua ledhek, penabuh gamelan, dan wiyogo yang bertugas menghadirkan suasana dinamis dengan sahutan-sahutannya. Tapi, inilah tayub yang telah menanggalkan selubung erotisisme dan memperlihatkan wujud aslinya yang spiritual. "Selesai pentas, saya sering ditawar. Tapi saya nggak mau. Ini profesi yang bisa menjadi tontonan, tapi juga tuntunan," kata Samini, ibu empat anak yang sudah 20 tahun menjadi penari tayub itu.
Samini dan Suparti tak pernah melanggar batas, dan masyarakat dusun yang merayakan bergantinya bulan Suro dengan Sapar juga tunduk pada tradisi lama. Tradisi suci menanggap tayub di bulan Sapar sebagai puji syukur atas keselamatan warga. Dan ledhek tak lagi sosok penggoda; mereka membawakan sesuatu yang sakral. Bahkan, mereka percaya bedak para ledhek merupakan penolak bala.
Jarum jam menunjuk angka sembilan. Udara gunung yang berkabut menggigit kulit. Samini dan Suparti, yang sejak lewat asar menari, tak tampak lelah. Satu tembang habis, kedua ledhek itu turun dari panggung. Mereka berjalan ke…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…