Bagdad, Dari Hari Ke Hari
Edisi: 06/32 / Tanggal : 2003-04-13 / Halaman : 148 / Rubrik : LAPUT / Penulis : Fibri, Rommy, ,
Wartawan TEMPO Rommy Fibri masih bertahan di Bagdad, di antara dentum bom yang sudah semakin dekat di telinganya. Perang kota sudah dimulai. Rommy mencatat perang di jantung kota Irak itu dari hari ke hari. Berikut petikannya.
PERBATASAN SURIAH-IRAK KAMIS, 27 MARET 2003
UDARA di Aboul Kamal, Suriah, terasa penat, meski musim dingin belum usai juga. Saya mengusap peluh di kening. Saya harus melalui lima kali pemeriksaan alias interogasi, sebelum akhirnya paspor saya dicap imigrasi Suriah. Biasa, mereka bertanya tentang nama ayah, ibu, kakek, pekerjaan, alamat, status keluarga, dan maksud kedatangan ke Irak.
Saya menyampaikan bahwa saya berminat melakukan ziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jaelani di Bagdad. Beruntung, mereka membolehkan saya lewat.
"Satu pintu sudah terbuka," pikirku. Seratus meter di depan, tinggal negosiasi dengan imigrasi Irak.
Pukul 12.00 waktu setempat. Seseorang di bagian visa meminta paspor dan menanyakan tujuan saya. "Mau ziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jaelani di Bagdad," jawab saya. Dia tertawa sembari bertanya, "Ini perang, mau apa pergi ke Bagdad?" Sambil tersenyum saya menjawab singkat, "Ziarah." Setelah membolak-balik paspor, dia meminta saya pergi ke bank di seberang bangunan, dan membayar ongkos visa. Untuk ini, saya cuma keluar US$ 100 (sekitar Rp 900 ribu) ditambah 1.000 dinar Irak (Rp 3.000) untuk administrasi.
Dari sini saya menangkap gelagat baik. Pertama, orang-orang Irak bukan bangsa yang oportunis yang mengandalkan pungutan liar dalam situasi perang. Kedua, saya merasa beruntung datang dari Indonesia, yang dianggap sebagai negeri muslim. Setelah tiga jam menunggu, akhirnya nama saya dipanggil dan mereka memberi cap pada paspor saya. Alhamdulillah, lancar. Tiba-tiba, ketika saya baru saja naik taksi, seseorang memanggilku. Dengan kumisnya yang tebal, dia menghardik, "Enak saja, belum diperiksa sudah main naik taksi." Waduh, ini berabe. Soalnya, di tas saya ada tape perekam, kamera, handphone, kaset, dan batu baterai. Sambil komat-kamit, saya mendekat ke arah sang petugas.
Ada sekitar tiga petugas yang langsung mendekat dan membongkar isi ransel. Benar saja, begitu melihat alat perekam dan kamera, dia langsung membentak, "Untuk apa ini semua?" Mukanya merah padam. "Kamera itu untuk mengabadikan tempat-tempat bersejarah yang saya singgahi," jawab saya mencoba menjawab dengan tenang, meski jantung saya berdebar keras. "Tape ini untuk mendengarkan musik," jawab saya sekenanya.
Dahi sang petugas berkerut. Dia masih belum terima atas jawaban itu. Beruntung, dia membongkar satu amplop berisi foto anak saya yang baru berusia delapan bulan. "Itu anak saya, namanya Ghifar Fadhillah," ujar saya sok akrab, sembari menunjukkan foto anak dan istri saya. Dia menatap foto itu sekali lagi. Istri saya mengenakan jilbab dan nama anak…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…