Demi Seni, Demi Dapur

Edisi: 51/33 / Tanggal : 2005-02-20 / Halaman : 72 / Rubrik : LAY / Penulis : Kalim, Nurdin , Suseno,

PAGI itu, di halaman rumah seorang manajer bank, Ramin memulai hari barunya. Sudah sekitar tiga tahun, kakek 74 tahun itu bekerja sebagai tukang kebun di rumah mewah di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu. Enam hari dalam sepekan, ia bekerja di rumah itu dari pagi hingga menjelang tengah hari. "Dua kali dalam seminggu saya juga menjadi penjaga malam di kampung saya," katanya.

Dua pekerjaan rutin itu dijalani Ramin di sela-sela profesinya sebagai peniup trombon di grup tanjidor Tiga Saudara, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pria kurus itu merupakan satu di antara peniup trombon tanjidor yang kini sudah langka. Menurut pengakuannya, Ramin bekerja sebagai tukang kebun dan penjaga keamanan karena undangan pentas belakangan ini kian berkurang. Dari dua pekerjaannya itu, ia setiap bulan mengantongi sekitar Rp 400 ribu.

Ramin lahir di Kampung Kalijati, Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 1931. Masa kecilnya dilalui di kampung kelahirannya itu. Galibnya anak-anak sebaya di kampungnya waktu itu, pagi ia pergi menggembala kerbau, di malam hari belajar mengaji. Orang tuanya tak pernah menyekolahkannya. Ayahnya menganggap lebih baik anaknya belajar membajak di sawah ketimbang sekolah. "Sawah milik bapak saya memang cukup luas waktu itu," katanya.

Saat menginjak remaja, seorang temannya mengajaknya main tanjidor. Semula ia ragu, karena tak mempunyai bakat berkesenian. "Saya kan anak petani," ia beralasan. Setelah dibujuk, akhirnya ia setuju. Mulailah Ramin belajar memainkan beberapa alat musik tanjidor pada Kiseng, pemilik grup tanjidor di Kampung Krukut, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sebelum pegang trombon, ia belajar kecrekan. Sesudah itu ia belajar main bedug dan tambur. Terakhir belajar alat musik tiup. "Saya baru bisa meniup trombon setelah belajar…

Keywords: -

---

Foto Terkait