Dua Kali Dibredel Rosihan Anwar:

Edisi: 12/22 / Tanggal : 1992-05-23 / Halaman : 43 / Rubrik : MEM / Penulis : PBS


SEMULA saya hanya mendengar keindahan alam Kubang Nan Duo dari Ibu saya.
Baru ketika berusia 63 tahun, secara khusus saya mengunjunginya bersama
beberapa pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan wartawan Sumatera
Barat. Kebetulan waktu itu saya sedang menatar wartawan di Padang.

; Setelah saya lihat, Kubang Nan Duo memang cocok dengan yang diceritakan oleh
Ibu. Tempat itu cantik. Pemandangan alamnya mengingatkan saya pada negeri
Swiss. Di sana ada pohon pinus. Hawanya sejuk. Pada zaman Hindia Belanda
tempat ini dipakai oleh pejabat-pejabat Belanda untuk istirahat. Mr. Muhammad
Yamin dilahirkan di sana.

; Di Kubang Nan Duo itulah 70 tahun silam saya dilahirkan, tepatnya 10 Mei
1922. Dewasa ini daerah itu merupakan kelurahan di Kabupaten Solok. Pada zaman
Belanda ia adalah standplaats -- tempat kedudukan pegawai pamongpraja. Ayah
memang seorang Ambtenaar Binnenlands Bestuur -- pamongpraja di pemerintahan
dalam negeri. Di Kubang Nan Duo, Ayah berpangkat asisten demang.

; Ketika saya dilahirkan, Ayah sudah menjadi asisten demang di situ. Namanya
Anwar gelar Maharaja Soetan. Sewaktu berkunjung ke sana, saya bertanya pada
lurah, di mana tempat tinggal asisten demang dulu. Saya ingin melihatnya
karena di rumah itulah saya lahir. Rupanya, rumah itu terletak di sebuah
bukit, tapi kini sudah tak ada bekasnya. Tempat itu dibakar oleh tentara kita
sewaktu terjadi aksi militer Belanda. Saya tidak ingat pada aksi militer I
atau II.

; Bapak beternak sapi perah. Menurut Ibu, ketika kecil saya minum susu dari
sapi itu -- tentunya susu hasil perahan, bukan langsung dari sapinya. Tidak
jauh dari situ ada dua pohon kubang yang mirip pohon beringin, yang disebut
"kubang nan duo". Itu sebabnya daerah itu disebut Kubang Nan Duo. Rumah
tugas Ayah berada di bukit.

; Pak Lurah kemudian mencari orang-orang tua yang mungkin masih ingat nama
Demang Anwar. Salah seorang di antaranya ingat. Dia bercerita, "Demang Anwar
dulu terkenal sebagai orang yang bagak, berani." Cocok dengan yang
diceritakan oleh ibu saya.

; Menurut cerita, menjelang kelahiran saya, Ayah berkelahi dengan tahanan dari
penjara di Sawahlunto. Tahanan itu, dulu, dinamai orang rantai, karena
dirantai. Dia melarikan diri lalu merampok pembawa pos di tengah jalan.
Sebagai orang yang bertanggung jawab atas keamanan Kubang Nan Duo, Ayah
menemui perampok yang dianggap jagoan itu. Mereka berkelahi. Tiga jari tangan
ayah saya putus. Beliau hampir mati.

; Tentang perampok itu sendiri beredar dua versi. Ada yang bilang ia mati di
tangan ayah saya. Ada juga yang mengatakan ia cuma luka parah, lalu ditangkap
oleh Belanda dan dibawa ke Padang.

; Adapun Bapak, ia dibawa ke rumah sakit di Sawahlunto untuk dioperasi. Dokter
yang mengoperasi namanya Saleh Mangundiningrat, bapak Soedjatmoko. Adalah
sebuah kebetulan bila kemudian, tahun 1946, saya bertemu dengan Soedjatmoko,
dan selanjutnya kami berkawan baik. Koko -- biasanya kami memanggilnya
demikian -- empat bulan lebih tua daripada saya. Ia salah seorang intelektual
Indonesia yang dihormati di dunia internasional, yang sebelum meninggal pada
Desember 1989 di Yogyakarta sempat menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo.

; Malam harinya, beberapa jam setelah Bapak diangkut ke rumah sakit, saya
lahir. Persis ketika terang bulan di Kubang Nan Duo. Beberapa hari kemudian
Ayah yang masih dalam perawatan di rumah sakit dikabari bahwa anaknya yang
keempat sudah lahir.

; Ayah diminta memberi nama. Kebetulan beliau suka membaca koran yang memang
ada di kademangan. Beliau gemar mengikuti perjuangan bangsa Turki yang
diduduki Yunani setelah kalah dalam Perang Dunia I. Di antara pemimpin tentara
Turki ada yang bernama Jenderal Rozehan Pasha. Dalam Bahasa Turki -- juga ada
dalam kosa kata Persia dan Urdu -- rozehan berarti sinar atau cahaya. Ayah
mengambil nama itu untuk saya. Ditambah dengan nama Ayah, maka nama saya
menjadi Rozehan Anwar. Waktu saya sekolah di Hollands Inlandse School (HIS) --
sekolah Belanda setingkat SD -- "z" diganti dengan "s". Maka, jadilah
Rosehan Anwar. Dalam perkembangan berikutnya nama saya adalah Rosihan Anwar,
sampai sekarang.

; Keluarga saya sebenarnya bukan asli Kubang Nan Duo, melainkan asli Kota
Padang. Ketika usia saya baru dua tahun, Ayah dipindahtugaskan ke Sijunjung,
dekat Sawahlunto. Jadi, saya sama sekali tidak sempat mengagumi keindahan
tempat kelahiran saya itu. Di Sijunjung pun kami tidak lama. Tahun 1926 Ayah
dipindah lagi ke Dangung-Dangung di dekat Payakumbuh. Setelah itu masih
dipindah ke beberapa tempat lagi, Jalu, Maninjau, Sungaipenuh, sampai akhirnya
pindah ke Padang dengan pangkat demang (Eerste Klas II) -- setingkat bupati
sekarang.

; MENJADI WARTAWAN

; KETIKA duduk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) -- setingkat SMP -- di
Padang, saya belum tahu akan menjadi apa kelak. Saya belum punya bayangan apa
pun. Tatkala duduk di kelas tiga MULO, Ayah -- yang waktu itu menjadi Demang
Kerinci di Sungaipenuh -- menginginkan saya supaya melanjutkan sekolah di
Middelbare Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (MOSVIA) di Bandung.
Beliau ingin betul salah seorang anaknya mengikuti jejaknya sebagai
pamongpraja Belanda di pemerintahan dalam negeri.

; Saya tidak tertarik menjadi pamongpraja. Saya memilih melanjutkan ke Algemene
Middelbare School (AMS) di Yogyakarta sejak 1939. Saya mengambil bidang
kesusastraan klasik Barat. Ini mungkin karena sejak di HIS di Padang saya
senang membaca sastra. Teman sekelas saya antara lain Usmar Ismail dan S.
Tasrif. Usmar (meninggal tahun 1970) kemudian terkenal sebagai sutradara, dan
Tasrif (meninggal tahun 1991) sebagai wartawan dan pengacara.

; Di Yogya, saya indekos pada guru saya Dr. Tjan Tjoe Siem, lulusan Universitas
Leiden. Ia seorang ahli bahasa Jawa yang juga mampu berbahasa Arab. Tinggalnya
di Wirogunan, di belakang gedung Taman Siswa. Beliau mengajar bahasa Jawa di
Bagian Ketimuran.

; Guru saya itu memiliki perpustakaan sendiri. Dia kan pakar bahasa Jawa, ahli
filologi. Macam-macam buku kesusastraan ada di situ, umumnya berbahasa
Belanda. Saya bebas membacanya. Berbagai karya sastra saya baca. Dua kali
seminggu dia juga mengajar saya bahasa Arab. Itulah salah satu faktor yang
membuat saya tertarik pada kesusastraan.

; Di situlah muncul ide untuk menjadi ahli bahasa. Saya ingin melanjutkan studi
ke Universitas Leiden. Namun, cita-cita tersebut batal karena pecah Perang
Dunia II. Negeri Belanda diduduki oleh Jerman.

; Sementara itu, tentara Dai-Nippon menduduki Indonesia. Belanda lari. Praktis
pendidikan formal saya kacau. Hubungan dengan orangtua di Sumatera pun putus.
Saya tidak lagi mendapat pos wesel. Saya harus berdiri sendiri. Tapi dengan
ijazah darurat dari AMS, tidak mungkin saya menjadi pegawai negeri di bawah
Jepang. Saya pergi ke Jakarta, hidup berpindah-pindah dari asrama satu ke
asrama lain, yakni asrama untuk menampung pelajar-pelajar seberang yang
terdampar di Jakarta. Di kota ini saya berkenalan dengan dr. Abu Hanifah --
seorang budayawan. Ketika itu saya sudah mulai menulis puisi dan cerita
pendek.

; Di tengah kebimbangan tersebut, ada teman yang menyarankan supaya saya
mengikuti kursus kehakiman untuk menjadi jaksa. Saya mengikuti seleksi, lulus,
dan siap mengikuti kursus. Tapi sesungguhnya saya tidak pernah tertarik untuk
menjadi jaksa.

; Kursus kehakiman itu pun tidak sampai saya ikuti, karena suatu hari Abu
Hanifah memberi tahu saya bahwa koran Asia Raya membuka lowongan bagi tenaga
muda yang mahir dalam bahasa Indonesia. Dia menawari saya bekerja di situ.
Saya pikir, mengapa tidak.

; Awal April 1943 saya mulai bekerja di Asia Raya. Di situ saya bertemu dengan
B.M. Diah. Usia kami berbeda lima tahun. Dia lebih tua. Tugas saya mula-mula
adalah pembantu pribadi Yoshio Nakatani, juru bahasa Pemerintah Balatentara
Dai-Nippon dan salah seorang anggota Sendenbu -- Barisan Propaganda Jepang. Ia
ditugaskan menjadi pengawas di Asia Raya. Pekerjaan saya adalah mengoreksi dan
memperindah bahasa Indonesia yang disusun oleh Nakatani.

; Tiga bulan kemudian saya magang sebagai wartawan. Saya diperbantukan di
rubrik luar…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…