Paul Wolfowitz: Demokrasi Bisa Berkembang Tanpa Perang

Edisi: 48/33 / Tanggal : 2005-01-30 / Halaman : 90 / Rubrik : WAW / Penulis : Fibri, Rommy , Basral, Akmal Nasery ,


Keramahannya, kefasihannya berbahasa Indonesia, dan kemampuannya berbaur dengan masyarakat Indonesia telah meluluhkan masyarakat Indonesia. Sehingga, ketika dia menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia tahun 1989, mungkin Paul Wolfowitz adalah satu dari sedikit diplomat Barat yang menerima pesta perpisahan yang paling banyak di Indonesia.

Di usianya yang ke-61, kunjungan Wolfowitz ke Indonesia sebagai Wakil Menteri Pertahanan AS bukanlah sebuah kunjungan "kangen-kangenan". "This time the reason for being back is an indescribable tragedy." (Kali ini alasan saya datang adalah karena sebuah tragedi yang tak tergambarkan—Red). Mengenakan kemeja biru cerah dengan dasi merah, Wolfowitz masih tetap ramah seperti di masa lalu menghadapi wartawan, meski ia diikat oleh protokol yang jauh lebih ketat dan jadwal yang luar biasa padat mengunjungi negara korban tsunami: Thailand, Indonesia, Sri Lanka.

Doktor ilmu politik ini bertakziah ke Aceh, berembuk dengan para petinggi negeri, sembari menyempatkan diri menemui kawan-kawan lamanya. Kedatangannya sangat signifikan, mengingat hampir bertepatan waktunya dengan pernyataan pemerintah agar keberadaan pasukan asing di Aceh dibatasi satu bulan saja. Pro-kontra pendapat ihwal keberadaan pasukan asing itu membuat riuh kancah perpolitikan Indonesia. Sejumlah anggota parlemen, termasuk Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, setuju pembatasan waktu bagi pasukan asing. Padahal semua juga menyadari betapa minimnya sarana transportasi udara yang dimiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Toh, hal itu tak membuatnya risau. Lobinya masih saja ampuh. Hasilnya, tak ada batasan tegas kapan pasukan asing harus hengkang. Kelihaian Wolfowitz melobi memang datang tanpa diundang. Saat masih menjabat duta besar AS di Indonesia, tak ada yang tak menyukainya. Selalu tampil rapi, ramah, tanpa basa-basi, dan mudah beradaptasi.

Ahad malam dua pekan silam, Wolfowitz menerima Tempo untuk sebuah wawancara khusus di executive lounge lantai 29 Hotel JW Marriott, Jakarta. Meski terlihat lelah, ia tetap tak lupa mengumbar senyum. Kepada Rommy Fibri dan Akmal Nasery dari Tempo, ia bertutur tentang bantuan Aceh, dukungan AS terhadap perdamaian Palestina, dan prioritas pemerintahan Presiden Bush mendatang.

Berikut petikan wawancaranya.

Apa alasan utama kedatangan Anda ke Indonesia?

Saya menyatakan duka sedalam-dalamnya kepada 200-an ribu korban gempa dan tsunami di Aceh. Ini bencana dahsyat yang sulit dibayangkan dan membuat syok dunia internasional. Kami berusaha semaksimal mungkin meringankan beban para korban tsunami dengan mengirimkan bantuan relawan, baik dari militer maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tak lupa juga kita kirimkan obat-obatan dan kebutuhan peralatan medis.

Kabarnya, pasukan Amerika sudah siap mudik ketika…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…