Yang Akrab Dengan Yang Murni

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-04-25 / Halaman : / Rubrik : CTP / Penulis :


Mengenang Arief Budiman (1941-2020)
SEORANG anak muda 19 tahun, sebaya saya, tapi lebih kurus, lebih tinggi, dengan baju dan celana lusuh tapi bersih, dengan cara bicara yang lempang tapi tak agresif, dan dipanggil “Djin”, mengatakan ia sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère: sejak kami berkenalan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, di tahun 1960, Arief Budiman—waktu itu memakai nama “Soe Hok Djin“—sudah tampak luar biasa.
Ia menyukai sastra dan filsafat sejak SMA, ia melukis, ia bermain gitar klasik dengan keterampilan awal yang lumayan, ia pintar matematika.
Kami berdua dengan cepat jadi akrab.
Mungkin karena kami berdua agak jauh dari pergaulan dengan mahasiswa lain di Fakultas Psikologi UI. Waktu itu jumlahnya mungkin tak lebih dari 150 orang, tapi umumnya mereka tak dekat dengan hal-hal yang kami sukai: omong filsafat, omong seni. Arief juga tak menikmati yang mereka sukai—di sebuah universitas yang waktu itu bersemboyan “buku, pesta, dan cinta”.
Persahabatan kami diperkuat lingkungan yang terbentuk kemudian. Arief memperkenalkan saya dengan seniman dan cendekiawan yang terkenal: Trisno Sumardjo (penerjemah Shakespeare dan perupa), Nashar (perupa), Zaini (perupa), P.K. Oyong (wartawan dan kelak pendiri Kompas), Onghokham (sejarawan), dan, setelah 1967, memperkenalkan saya dengan orang yang ia kagumi dan dekat kepadanya, Mochtar Lubis.
Segera saya menjadi bagian lingkungan ini—meskipun saya, yang dibesarkan dalam bahasa Jawa, tak seberani Arief menyebut seniman yang lebih tua “kau”.
Ya, Arief anak Jakarta tulen. Ia dibesarkan di keluarga Tionghoa yang hanya berbahasa Indonesia (ayahnya dulu seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu Tionghoa), dan meskipun ibunya berbahasa Sunda, adat bertutur Arief lurus, lugas.
Lagi pula, ia tak melihat dirinya inferior. Dalam umur semuda itu, ia sudah sering menulis esai di majalah Star Weekly. Seperti saya sebut di awal, Arief sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère. Ia mengagumi Albert Camus; ia bahkan merasa punya persamaan dengan pengarang kelahiran Aljazair itu ketika ia, seperti Camus di umur 17 tahun, didiagnosis kena tuberkulosis; Arief pernah harus dirawat di Pacet. Ia membaca, dalam bahasa Inggris, buku-buku Camus. Ia melahap The Myth of Sisyphus, dari mana ia kembangkan pandangannya yang anti-utopisme. Buku itu, di mana tertera nama “Djin” di halaman depan, masih saya simpan, sejak setengah abad yang lalu.
Arief bukan fotokopi Camus, tentu. Ia tak pernah aktif dalam dunia pentas, dan tak seperti Camus, Arief tak punya hubungan dengan perempuan-perempuan yang memikat. Tapi pandangan anti-utopismenya memang dibentuk mithos Sisyphus yang dipakai Camus sebagai alegori bagi sejarah manusia yang tak pernah selesai dan lengkap.
Ini terutama tampak ketika ia, di tahun 1963, pada umur 22 tahun, ikut merumuskan Manifes Kebudayaan. Manifes ini semacam petisi. Kami mengimbau dijaganya kemerdekaan ekspresi seni di masa “Demokrasi Terpimpin” itu, ketika banyak tulisan diberangus.
Petisi kami bertolak dari pandangan bahwa tak semestinya kemerdekaan seni dikorbankan untuk…

Keywords: Goenawan MohamadCatatan Pinggir
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

X
Xu
1994-05-14

Cerita rakyat cina termasyhur tentang kisah percintaan xu xian dengan seorang gadis cantik. nano riantiarno…

Z
Zlata
1994-04-16

Catatan harian gadis kecil dari sarajevo, zlata. ia menyaksikan kekejaman perang. tak jelas lagi, mana…

Z
Zhirinovsky
1994-02-05

Vladimir zhirinovsky, 47, banyak mendapat dukungan rakyat rusia. ia ingin menyelamatkan ras putih, memerangi islam,…