Indonesianis Pemandu Sejarah Aceh

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-09-05 / Halaman : / Rubrik : OBI / Penulis :


SAYA sedang membuka Facebook saat mendapati tulisan sahabat saya, Najib Azca, yang memberitakan kabar duka meninggalnya Indonesianis Lance Castles, Sabtu, 29 Agustus 2020. Cendekiawan asal Australia itu menutup mata dan beristirahat untuk selamanya pada usia 83 tahun. Karier akademisnya dimulai dari sarjana dan master di Monash University, Melbourne, Australia. Ia kemudian menyelesaikan PhD di Yale University, Amerika Serikat, dengan menulis disertasi tentang Indonesia berjudul “The Political Life Sumatran Residency Tapanuli 1915-1940”, yang selesai pada 1972.
Sejak menyelesaikan studi di Yale University, Lance menekuni penelitian dan menulis. Beberapa karya hasil penelitiannya yang telah diterbitkan menyangkut sejarah, politik, dan perilaku politik di Indonesia.
Saya adalah muridnya saat menjadi tenaga ahli di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 42 tahun silam. Pada 1978 itu, saya dan sembilan peserta dari berbagai universitas di Indonesia datang ke Banda Aceh mengikuti angkatan kedua latihan penelitian ilmu sosial di PLPIIS. Saya sering mengikuti kuliahnya dan mendengar ceritanya.
Sebelum kelas dimulai, ia mengajak para peserta mengenal Aceh dengan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di sekitar Banda Aceh pada minggu pertama. Sebagai sejarawan, ia bertindak sebagai pemandu menceritakan tentang artefak serta bangunan peninggalan sejarah kerajaan Aceh, Portugis, dan Belanda. Para peserta seperti wisatawan mendengarkan secara saksama penjelasan sejarah dari seorang pemandu "tengku dari Australia". Orang-orang di Banda Aceh memanggilnya Tengku karena ia fasih berbahasa Aceh.
Dengan latar belakang sejarah yang dimiliki, Lance menjelaskan secara rinci dan runut serta dibumbui perbandingan untuk memperkuat penjelasannya. Misalnya saat berkisah tentang peninggalan benteng dan meriam Portugis di Aceh dibandingkan dengan yang ditemui di Malaka (Malaysia), Ambon, dan Ternate. Peninggalan benteng-benteng itu ada kesamaan. Peninggalan itu sebagai bukti daerah tersebut pernah disinggahi kapal-kapal petualang atau pedagang Portugis dan tinggal untuk beberapa waktu di sana.
Bahkan beliau menceritakan, dalam tulisan perjalanan, rombongan kapal Magelhaens asal Portugis yang pada waktu itu (abad ke-14 dan ke-15) melakukan ekspedisi mencari daerah penghasil rempah-rempah di kepulauan Indonesia pernah singgah di suatu daerah di Aceh. Dalam laporan perjalanan itu ditulis bahwa…

Keywords: Obituari
Rp. 15.000

Foto Terkait


Artikel Majalah Text Lainnya

M
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23

Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…

P
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23

Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…

M
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15

Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…