Geliat Minol, Dari Cap Tikus Hingga Wine Lokal
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-09-19 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
KECAMATAN Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tak hanya menjadi lokasi gudang buah salak pondoh. Di tengah kawasan itu terdapat pula winery—tempat pembuatan wine—yang dikelola Rangga Purbaya bersama kawan-kawannya. Di sanalah Rangga, seniman dari kelompok kolektif Ruang MES 56, meracik beraneka minuman fermentasi. Ada minuman anggur bebuahan (fruit wine) dan tuak yang dijual dengan merek Pondoh, juga minuman keras sulingan alias spirit yang dilabeli Moonshine. Produk itu tak dijajakan di pasar daring (online), tapi lewat jalur underground; jejaring pertemanan dan media sosial. Pandemi Covid-19 tak menjadikan penjualan produknya anyep.
Ada hari ketika Rangga repot di bangunan winery seluas 500 meter persegi itu. Seperti Rabu, 9 September lalu, saat ia sibuk menghasilkan tuak dari salak pondoh bersama kawannya. Untuk memproduksi satu tong tuak berkapasitas 150 liter air, dibutuhkan 90 kilogram salak pondoh yang sudah dihancurkan dengan blender. Sari airnya lalu dia masak hingga mendidih dan ditambahi 2 kilogram gula. Setelah itu, larutan tersebut didiamkan sehari untuk mencapai suhu ruangan. Baru kemudian Rangga mencampurnya dengan ragi bikinan sendiri untuk fermentasi. Dari proses itu, ia mendapatkan 300 botol tuak kemasan 500 mililiter.
Rangga mendirikan Pondoh bersama seorang kawannya pada 2013. Awalnya adalah melejitnya cukai alkohol ketika itu yang membuat harga minuman beralkohol alias minol menjadi makin mahal. “Kami jadi terpikir membuat minuman fermentasi, yang narasinya enggak hanya bisnis,” katanya, Kamis, 10 September lalu. Eksperimen produksi minol dia serap dari YouTube. Dia mencoba mengolah beragam buah untuk campuran, dari pepaya, mangga, rambutan, sampai akhirnya salak pondoh. Karena sentra salak pondoh dekat, buah itu menjadi pilihan utamanya. Mereka memanfaatkan salak petani sekitar yang tak terserap pasar. “Baru kemudian kami membuat market di ekosistem seni lewat komunitas kolektif tempat saya bergabung.”
Foto udara perkebunan anggur milik Sababay di Bali./Dok. Sababay
Rangga dan kawan-kawan menghargai tuak Rp 50 ribu per botol. Lain halnya dengan spirit, yang dibanderol Rp 100 ribu per kemasan 200 mililiter. Dalam sebulan, sebanyak 500-600 botol minuman beralkohol lahir di winery Rangga. Dari angka itu, separuh yang terjual adalah tuak. Sisanya adalah wine klasik dari salak dan spirit. Dia yakin penjualannya bisa lebih masif kalau sudah mengantongi izin edar dari pemerintah. “Ini jadi bagian dari mimpi kami, bagaimana produksi fruit wine dan tuak lokal tak hanya menarik dari sisi bisnis, tapi juga membuka ruang edukasi perajin yang terlibat di dalamnya,” ujarnya.
Jalan lebih panjang dilalui Vibe, merek liquor atau spirit lokal yang berpabrik di Semarang, Jawa Tengah. Beroperasi sejak 2005, Vibe memiliki kapasitas produksi mencapai 1 juta botol tahun lalu. Produk minuman dengan kadar alkohol 40 persen bikinan PT Kharisma Serasi Jaya ini pun mulai mengoleksi penghargaan. September tahun lalu, Vibe mengantongi enam penghargaan dari Asia International Spirits Competition dan ditahbiskan sebagai Brand of the Year 2019.
Dalam kompetisi itu, vodka Vibe menyabet medali emas, gin dan rum meraih perak, sementara varian leci dan triple sec mendapat perunggu. “Tapi masih banyak yang menganggap enteng karena…
Keywords: Makanan dan Minuman, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…