Seniman Desa Yang Membuana
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-11-14 / Halaman : / Rubrik : OBI / Penulis :
SAYA yakin banyak orang yang mau dan akan bagus menulis obituari untuk seorang Rahayu Supanggah—seorang seniman dan intelektual besar dari Surakarta yang berpulang pada 10 November lalu. Mas Panggah, demikian saya selalu memanggilnya, tumbuh dari anak desa menjadi bapak buana, dari pangrawit Jawa menjadi komposer musik sejagat. Saya tak ingat betul kapan pertemuan pertama saya dengan Mas Panggah. Mungkin awal 1970-an di Taman Ismail Marzuki. Tapi terjalinnya persahabatan kami adalah ketika saya tinggal di Surakarta pada 1978-1979. Waktu itu ada dua kelompok bersahabat yang pendekatannya berbeda: yang satu adalah seniman Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Pusat Kesenian Jawa Tengah bersama para seniman seni rupa Universitas Sebelas Maret, dan yang satu lagi adalah kelompok Suprapto Suryodarmo. Yang pertama kuat dengan pendekatan “seni” (teknik dan estetika) dan yang kedua (Suprapto) persepsinya “spiritual”, tanpa struktur. Perdebatan intensif kedua kelompok itu tidak pernah mencapai kesepakatan, tapi tak pernah putus, atau bermusuhan. Mas Panggah tidak banyak terlibat dalam perdebatan, mungkin ia tak tertarik, atau tak menganggap perdebatan itu perlu. Tapi ia mendengar dan mencerna. Ia terlihat berdiam luarnya, tapi aktif dalamnya, untuk kemudian ia wujudkan dalam kerja. Mas Panggah bukan pendiam seperti Begawan Ciptoning. Ia bisa bicara lantang, protes keras, dan mengamuk seperti Baladewa ketika terjadi sesuatu yang menurutnya tidak adil, tidak transparan, dan merugikan orang banyak. Protes pertamanya, dia menambahkan, adalah pada awal 1970-an ketika turut menjadi musikus dalam pertunjukan Ramayana Prambanan, di mana para penari mendapat honor yang lebih besar ketimbang musikus. Sekitar 2010, ia marah kepada produser besar dan menolak menjadi komposer walau dengan bayaran sangat tinggi—hingga lebih dari Rp 1 miliar—sementara para musikus lain akan dibayar sangat rendah. Kaki Mas Panggah menapak di dua mazhab: tradisi dan modern, Jawa dan Nusantara,…
Keywords: Gamelan, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…