Sebuah Ekspedisi Menghidupkan Tradisi

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-11-14 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


SABAN Sabtu pagi, Fahmi Harun bersiap memboyong istrinya, Suhaeba Hasim, dan anak bungsunya yang berusia dua tahun ke ladang. Dari rumah mereka di tengah perkampungan Desa Gumira, di kaki Pulau Halmahera, Maluku Utara, mereka berjalan sekitar 7 kilometer. Mereka menanjak ke atas bukit, lalu turun, kemudian menyeberangi sungai besar, dan masuk hutan. Ladang mereka terletak di belakang bukit di punggung kampung itu. Dalam huma seluas 3 hektare tersebut, mereka memiliki sedi --sebutan untuk rumah kebun dalam bahasa Makean (Makian). Fahmi dan Suhaeba sudah membawa bekal beras, kopi, gula pasir, minyak goreng kelapa, dan minyak tanah untuk perbekalan sampai Kamis pekan selanjutnya. “Kami biasa tinggal di kebun untuk merawat tanaman. Sekarang ada padi, terung, dan kacang. Semuanya organik,” kata Fahmi, 41 tahun, Kamis, 29 Oktober lalu.

Kegiatan batumbu padi, atau proses melepaskan kulit padi untuk mendapatkan beras secara tradisional, di Desa Gumira, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Oktober 2020. EcoNusa/Kei Miyamoto
Tujuh belas tahun menjadi petani, baru dua kali Fahmi menanam padi. Ia pertama kali bertani padi pada satu dasawarsa lalu setelah mendatangi wilayah transmigrasi Trans Lalubi, sekitar 10 kilometer dari kampungnya. Ia melihat sawah mereka dipenuhi padi. Kenangan Fahmi seketika terbang ke masa kanak-kanak, sewaktu ia sering dibawa ke ladang oleh orang tuanya saat libur sekolah. Salah satu yang ditanam oleh orang tuanya adalah padi. Tapi, sebelum Fahmi lulus sekolah dasar, kebiasaan bertani padi tersebut tak lagi dilakukan oleh orang tuanya. Pun demikian dengan warga lain di kampungnya. “Saya tarada (tidak) tahu kenapa,” ujarnya. Dengan bekal ingatan itu, ia menanam padi pada 2010. Hasil panennya menjadi makanan selingan selama setengah tahun bagi keluarga. Sebagian yang lain ia jual ke penduduk kampung. Masyarakat Gumira sebenarnya lebih akrab mengonsumsi sagu, pisang, kasbi (singkong), dan batata (ubi) ketimbang nasi. Pisang, kasbi, dan batata yang mereka tanam sendiri di ladang hampir setiap hari mereka makan. Demikian juga dengan sagu yang tumbuh liar di tanah mereka. Adapun nasi dikonsumsi dua sampai tiga kali dalam sepekan dan menjadi santapan ketika ada warga yang meninggal. Keluarga yang ditinggalkan membuat dadang, yakni tumpeng nasi kuning yang disajikan saat acara tahlilan pada hari ketujuh.



Keywords: Provinsi Maluku UtaraEkspedisi ilmiah
Rp. 15.000

Foto Terkait


Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…