Perkenier Terakhir Banda Naira
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-12-12 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
JELAGA menyelimuti seluruh permukaan dinding lantai dua bangunan tua dengan alas kayu dan bambu yang mulai rapuh. Beberapa di antaranya bolong. Jika diinjak, kayu-kayu itu retak. Di bawahnya terdapat dua tungku menyala. Di kala siang, tungku itu digunakan untuk memasak. Saat petang tiba, tungku kembali menyala untuk mengasapi biji pala. “Ini tempat pengeringan pala, dibangun tahun 1729,” kata Pongky Erwandi van den Broeke, pertengahan November lalu.
Tempat pengeringan itu merupakan bagian dari kompleks groot waling atau perkebunan besar peninggalan nenek moyang Pongky yang merupakan anggota Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereegnide Oostindische Compagnie (VOC) di Pulau Banda Besar, Banda Naira, Maluku. Pintu gerbang tua membentengi perkebunan ini dari riak ombak pantai di pulau yang berbentuk bulan sabit tersebut.
Pongky van den Broeke di tempat penyulingan minyak atsiri pala di kompleks perkebunan miliknya, Pulau Banda Besar, Banda Naira, Maluku Tengah. Tempo/Linda Trianita
Pongky merupakan perkenier (pemilik kebun) terakhir atau generasi ke-13 keturunan Van den Broeke. Ibunya asli Madiun, Jawa Timur. Sedangkan ayahnya adalah Benny William van den Broeke, keturunan ke-12 dari Paulus van den Broeke, adik Pieter Jan van den Broeke, yang merupakan admiral Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki di Banda Naira pada 1621. “Dia mendapat tugas melihat situasi rempah-rempah di Banda,” ujar pria 62 tahun itu. Setelah mengobservasi, Jan kembali ke Belanda dan memboyong saudaranya yang ahli di bidang pertanian, Paulus, untuk memulai bisnis perkebunan pala. Paulus menjadi perkenier pertama klan Van den Broeke di Banda Naira.
Paulus mengembangkan perk (kebun) pertama di Pulau Ay, yang berjarak 9,9 kilometer dari Pulau Banda Besar. Keluarga Van den Broeke mendirikan groot waling yang diberi nama Welvaren seluas 20 hektare. Kebun besar pertama itu langsung membuahkan hasil. Mereka berekspansi membuka kebun baru bernama Waltevreden di Pulau Ay juga dan Waltevreden Lonthoir di Pulau Banda Besar. Di Banda Besar dan tempat lain, seperti Pulau Rhun, mereka juga memiliki beberapa perkebunan kecil atau klein waling. “Total perkebunan Van den Broeke saat itu 140 hektare,” ucap Pongky.
Paulus van den Broeke menjadi perkenier terbesar di Kepulauan Banda pada 1660-an hingga 1670-an. Mengutip media Belanda, Trouw, salah satu kebun Van den Broeke menghasilkan hampir 24 ribu pon atau 20 ton pala dan 6.000 pon atau 2,9 ton fuli (bunga pala) pada sekitar 1690. Perkenier Van den Broeke kala itu memiliki 160 pekerja dan 55 budak. Heeren XVII—direksi VOC—memperdagangkan pala dengan harga yang sangat tinggi. Pada 1750, 1 pon pala dibeli seharga 45 sen, kemudian dijual 6,40 gulden di pasar Eropa.
Pemandangan di Banda Naira, Maluku Tengah, pada 1930-an. KITLV
Tokoh Banda, Des Alwi, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon (2005) menyebutkan, sebelum VOC masuk, masyarakat di sana sudah menjualbelikan pala sejak zaman Romawi melalui Samudera Pasai sehingga Banda Naira terkenal dengan nama pulau parfum dan rempah-rempah. Hal ini juga yang mendorong Raja Portugal memerintahkan Christopher Columbus menemukan kepulauan tersebut di sebelah barat. Perintah itu baru terlaksana pada 1511 di era Laksamana Alfonso de Albuquerque, yang berhasil menaklukkan Malaka, pusat rute perdagangan timur jauh Asia.
Menjelang abad ke-16, pala, yang menjadi hasil utama Kepulauan Banda Naira, merupakan komoditas utama yang paling dicari pasar Eropa. “Kepulauan Banda Naira satu-satunya penghasil komoditas tersebut,” tulis Des Alwi. Pohon pala tumbuh di wilayah tropis yang lembap dengan tanah vulkanis dan berkapur.
Orang-orang Portugis memboyong pala dan rempah lain ke pasar Eropa dengan keuntungan hampir 1.000 persen. Mereka menetap di Pulau Tidore dan Ternate, wilayah sebelah utara Kepulauan Banda Naira. Pada 1599, para pelaut Belanda tiba di Banda Naira dan diikuti pelaut Inggris pada 1601. Rombongan Belanda di bawah komando Laksamana Jacob van Neck, yang melakukan ekspedisi kedua di Hindia Timur dengan dibiayai Compagnie van Verre (pendahulu VOC), sejak awal datang memperkenalkan diri sebagai musuh Portugis.
Kapal pinisi melintas di kawasan Gunung Api Banda, Banda Neira, Maluku, Mei 2016. Dok.Tempo/Iqbal Lubis
Dengan membawa persyaratan yang ditujukan bagi orang kaya—sebutan untuk tokoh masyarakat setempat—Belanda diterima di Kepulauan Banda Naira. Mereka kemudian mengangkut rempah-rempah itu untuk diperdagangkan di pasar Eropa. Belanda berupaya merintangi perdagangan Inggris dengan memaksakan perjanjian antara Belanda dan penduduk Kepulauan Banda Naira. Portugis lama-lama juga tersisih oleh kehadiran Belanda.
Ekspedisi Belanda datang dan kembali silih berganti dengan muatan rempah-rempah. “Cara berdagang mereka yang tidak simpatik…
Keywords: Kabupaten Maluku Tengah, Pemerintah Provinsi Maluku, Rempah, Jalur Rempah, Banda Naira, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…