Orang Jalanan Pelintas Zaman
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-01-23 / Halaman : / Rubrik : MEM / Penulis :
DIA tak pernah betah berdiam diri. Setelah satu fase kesulitan ia taklukkan, kepalanya penuh dengan rencana berikutnya. Sarwono Kusumaatmadja, 77 tahun, menyebut itu sebagai penyakitnya. “Saya itu selalu ingin mengatasi tantangan. Ini menjadi penyakit, karena berlebihan,” kata lelaki kelahiran Jakarta tersebut saat ditemui Tempo di rumah putranya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin, 11 Januari lalu.
Berkat “penyakit” itu, Sarwono menapaki kariernya secara berjenjang melintasi rezim. Saat masih berstatus mahasiswa teknik sipil Institut Teknologi Bandung di era Orde Baru, Sarwono sudah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat yang sama, ia aktif di Golongan Karya, hingga menjadi sekretaris jenderal dewan pimpinan pusat partai tersebut pada 1983-1988. Posisi strategisnya itu membuat Presiden Soeharto meliriknya masuk ke kabinet.
Sarwono hampir 12 tahun menjadi menteri di era dua presiden. Pada zaman Soeharto, ia menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1988-1993) dan Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998). Sedangkan pada masa reformasi, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menunjuk Sarwono sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan (1999-2001).
Setelah tak menjadi menteri, Sarwono terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta dalam Pemilihan Umum 2004. Pada 2007, Sarwono melamar menjadi bakal calon Gubernur DKI lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun ia tersingkir oleh Fauzi Bowo, yang dipilih PDI Perjuangan untuk berlaga dalam pemilihan langsung.
Di sela kesibukannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim serta anggota staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Sarwono kini senang berkebun di pipa air dan talang bekas. Ia menanam beragam jenis sayuran secara organik, seperti caisim dan pakcoi. “Saya tak mau hanya bicara soal perubahan iklim dan ketahanan pangan tanpa mempraktikkannya sendiri,” ucapnya.
Dalam dua kali pertemuan wawancara, Sarwono menceritakan kisah hidupnya tersebut. Tulisan dilengkapi cuplikan perjalanan hidupnya yang ia kisahkan dalam buku Menapak Koridor Tengah (2018).
***
SEJUMLAH orang kaget saat saya terpilih sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1988-1993. Salah satunya Mimi—begitu panggilan ibu kandung saya—yang orientasinya cenderung ke abang saya, Mochtar Kusumaatmadja. Mimi menganggap Mochtar memang pantas menjadi Menteri Luar Negeri karena pintar. Walau menyayangi saya, Mimi sepertinya tak bisa membayangkan anak keduanya ini menjadi menteri seperti sulungnya.
Saat itu usia Mimi sudah mendekati 90 tahun. Beliau mulai pikun. Bahkan, saat melihat saya tampil di televisi dengan pakaian menteri, dia menuduh saya meminjam lencana Mochtar. Saya tentu membalas dengan candaan. Saya bilang kepadanya, memang betul saya meminjam lencana Abang. Namun ternyata Mimi menimpalinya serius. Ia melarang saya terlalu sering meminjam lencana Mochtar. Norak, kata Mimi.
Ada juga ibu-ibu yang kaget melihat saya tampil di televisi. “Itu kan Sarwono, mandor kita. Kok, jadi menteri?” begitu kata mereka. Memang betul. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, saya sempat bekerja sebagai mandor bangunan. Sebab, ketika itu gaji sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat tergolong kecil sehingga saya mesti punya pekerjaan sampingan.
Sarwono (kanan) bersama Abdurrahman Wahid di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat, 1 Juni 2007/Dok.TEMPOFransiskus S
Saya melesap ke Kabinet Pembangunan V sebagai salah satu “orang baru”. Selain saya, ada tiga orang baru, yakni Siswono Yudo Husodo (Menteri Perumahan Rakyat), Akbar Tandjung (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan A. Sulasikin Murpratomo (Menteri Urusan Peranan Wanita). Jabatan kami menteri negara semua.
Mungkin kami tersaring berdasarkan pengawasan Presiden Soeharto. Sebenarnya Pak Harto bisa saja memilih saya tetap di Partai Golongan Karya, naik dari jabatan saya sebelumnya, sekretaris jenderal, menjadi ketua dewan pimpinan pusat. Namun ternyata dia memproyeksikan saya ke kabinetnya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan).
Anggaran Kemenpan ketika itu sedikit sekali, hanya Rp 300 juta. Sebab, kinerjanya semula memang pasif, hanya memberi persetujuan terhadap usul yang masuk. Adapun saat Pak Marlin (Johannes Baptista Sumarlin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara 1973-1978) menjabat, beliau suka melakukan inspeksi mendadak—menangkap basah orang yang melakukan korupsi, menarik pungutan liar, dan lainnya. Kadang Pak Marlin menyamar, menjadi orang bernama Sidik. Beliau juga hanya memberikan pendapat mengenai hal-hal yang diajukan kementerian lain, tanpa inisiatif.
Ketika menjadi Menpan, saya mengobrol dengan para pegawai eselon I. Ternyata mereka punya banyak sekali ide, tapi tidak…
Keywords: Politik Soeharto, Pemilu Orde Baru, 
Foto Terkait
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…