Sanusi Pane: Sebuah Pleidoi Untuk Bahasa Indonesia

Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-02-27 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


SANUSI Pane datang terlambat dalam rapat perumusan Ikrar Pemuda yang akan diajukan sebagai keputusan Kongres Pemuda pertama di Gedung Vrijmetselaarsloge ‘Ster Het Osten’ (Loji Bintang Timur), Jakarta, 2 Mei 1926. Tiga orang, yakni ketua panitia kongres Mohammad Tabrani, Mohammad Yamin, serta Djamaludin Adinegoro, sudah lebih dulu membahas naskah bikinan Yamin yang menjadi awal mula konsep satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa itu. Ada perdebatan sengit di antara ketiga orang ini karena poin terakhir naskah Yamin berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu.” Tabrani berpendapat istilah bahasa Indonesia lebih tepat digunakan ketimbang bahasa Melayu, tapi ia kalah suara dari Yamin dan Djamaludin. Yamin bahkan sempat menyebut Tabrani sebagai “tukang ngelamun” karena pada saat itu belum ada istilah bahasa Indonesia. Sementara itu, Tabrani, seorang jurnalis asal Madura dan tokoh organisasi Jong Java, berkeras, jikapun bahasa itu belum ada, harus diadakan karena poin 1 dan 2 ikrar tersebut telah menyebut nama Indonesia. Arah perdebatan berubah ketika Sanusi Pane datang. “Ibaratkan pertandingan sepak bola sebelum turun minum 2-1 untuk kemenangan Yamin. Setelah Sanusi Pane muncul stand berubah menjadi 2-2, sebab Sanusi Pane menyetujui saya,” kata Tabrani dalam buku autobiografinya yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal, terbit pada 1979.

Madah Kelana
Berkat sumbangan suara Sanusi yang hadir pada kongres sebagai perwakilan Jong Batak, tim itu batal mengajukan naskah Yamin yang memuat kata Melayu sebagai kesepakatan kongres. Tim mengamanatkan agar pembahasan itu dirembukkan kembali pada kongres kedua. Yang terjadi selanjutnya sama-sama kita ketahui: kongres pemuda kedua digelar pada 1928, sidang menyetujui istilah bahasa Indonesia, dan lahirlah Sumpah Pemuda yang menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Dukungan menentukan Sanusi kepada Tabrani jarang disebut dalam pembahasan sejarah kongres pemuda. Belakangan, peran itu digaungkan kembali saat Balai Bahasa Sumatera Utara mengusulkan nama sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu untuk menjadi pahlawan nasional. “Sosok Sanusi Pane kami munculkan untuk meneguhkan kembali kebahasaan kita,” ujar Maryanto lewat wawancara telepon, Senin, 22 Februari lalu. “Dia orang kedua setelah M. Tabrani yang menggagas bahasa Indonesia dan juga memikirkan kelembagaannya.” Tabrani sebelumnya telah menyebut peran Sanusi Pane tatkala berceramah di Museum Sumpah Pemuda pada 26 April 1975. Salinan naskah pidatonya yang berjudul “Sejarah Satu Bangsa, Satu Nusa, dan Satu Bahasa” itu dibukukan oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda.

Manusia Baru
Edukator Museum Sumpah Pemuda, Bakhti Ari Budiansyah, yang turut mengkaji pengusungan Sanusi Pane sebagai pahlawan nasional, mengatakan peran Sanusi Pane tak berhenti hanya pada pendukung gagasan bahasa Indonesia. Selepas kongres pemuda, Sanusi Pane semakin gencar menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jika sebelumnya dia menulis Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht dalam bahasa Belanda, selanjutnya Sanusi tekun menulis dalam bahasa Indonesia,…

Keywords: Sastra
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…