Antara Jailolo Dan Solo
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-03-13 / Halaman : / Rubrik : SN / Penulis :
DI bawah sorot lampu kuning yang membelah panggung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Rabu petang, 10 Maret lalu, Trisya Novita Lolorie membuka pementasan Dadalar dengan berjalan mundur. Tiap satu langkah, dia berhenti sejenak sambil menarik napas perlahan. Sesampai di sudut belakang, penari berkostum merah marun itu berjalan kembali ke depan dengan tempo yang sama lambatnya.
Setelah tiba di titik awal, Trisya mengulang perjalanan maju-mundurnya dengan sedikit tambahan gerak pergelangan tangan, seperti kebyak, meski tanpa selendang. Dari sudut belakang panggung, Yezyuruni Forinti berjalan menghampiri Trisya. Setelah berhadapan, Trisya dan Uny—panggilan akrab Yezyuruni—mulai menari dengan gerakan lembut yang seirama. Kehadiran musik di tengah pertunjukan tidak banyak mengubah ritme kedua penari itu.
Yezyuruni Forinti, koreografer muda asal Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara, merasakan lagi kegairahan khas yang jarang ia temukan dalam pementasan tari yang digelar daring. Di panggung Teater Arena, Uny teringat kembali pada kenangan-kenangan indah saat ia menari dalam berbagai festival sebelum terjadi pandemi Covid-19. “Tadi rasanya kena banget, seperti kembali ke masa lalu yang saya rindukan,” ujar mahasiswa Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu saat ditemui Tempo seusai pementasan.
Malam itu, Uny menyuguhkan Dadalar di depan 80 penonton bermasker yang duduk melingkar, berjarak semeter satu sama lain. Menurut Uny, lambatnya tiap gerakan dalam Dadalar menunjukkan karakter perempuan yang lembut dan tenang saat menghadapi segala sesuatu. “Tapi, selain itu, dia (perempuan) kuat. Tenang, tapi juga tegas,” ucap Uny.
Pada babak akhir Dadalar, Uny dan Trisya berdiri saling membelakangi. Punggung mereka menempel. Pelan-pelan Trisya menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Uny. Begitu pun Uny, yang menyandarkan kepalanya ke bahu kiri Trisya. Tangan keduanya bertautan. Dengan amat pelan, Uny kemudian membungkukkan badannya. Tubuh Trisya yang masih menempel pada punggung Uny pun terangkat hingga kedua kakinya tidak menyentuh lantai. Gerakan saling menopang ini diulang beberapa kali secara bergantian. “Saat kami duet itu menggambarkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan, satu sama lain mesti saling menopang, saling mengasihi, saling melengkapi,” tutur Uny.
Dadalar adalah…
Keywords: Seniman Tari, 
Foto Terkait
Artikel Majalah Text Lainnya
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.