Mengurai Sengkarut DeradikalisasiÂ
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-04-03 / Halaman : / Rubrik : KL / Penulis :
KE mana saja dana triliunan rupiah yang telah digelontorkan negara untuk program deradikalisasi para teroris? Setelah berjalan belasan tahun, seberapa efektifkah program ini untuk menangkal kemunculan teroris baru? Jika program diklaim berhasil, kenapa masih saja ada aksi teror baru di Indonesia?
Sejumlah pertanyaan itu menyeruak kembali seusai aksi bom bunuh diri di depan gereja katedral di Makassar, Ahad, 28 Maret lalu. Meledak tiga tahun setelah insiden bom serupa di Surabaya, wajar jika teror itu mengguncang kita semua. Apalagi tiga hari kemudian menyusul aksi nekat seorang perempuan menyerang polisi dengan air gun di dalam Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta.
Dari mana kita harus mulai menjawab serangkaian pertanyaan tersebut? Pertama-tama, harus disadari bahwa pada dasarnya program deradikalisasi adalah sebuah kegiatan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Semangat program ini adalah melunakkan ideologi pelaku terorisme yang tertangkap agar mereka tidak kembali ke jaringan lama. Dengan kata lain, ideologi yang dibalut dengan narasi agama—yang selama ini diyakini sebagai akar masalah—harus diurai oleh program tersebut.
Sampai hari ini, sedikitnya 700 narapidana terorisme tersebar di 90-an penjara dan rumah tahanan di Indonesia. Merekalah sasaran utama program deradikalisasi. Pada level operasional di lapangan, paling tidak ada tiga lembaga keamanan yang terlibat sebagai pemain utama dalam program ini. Mereka adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Belakangan, Kementerian Sosial juga dilibatkan dalam proses integrasi sosial para eks narapidana terorisme.
Karena banyaknya aktor yang bermain, tak mengherankan eksekusi program deradikalisasi kerap bermasalah. Ada tiga masalah klasik yang kita hadapi dalam pelaksanaan program ini, yaitu koordinasi, substansi, dan evaluasi.
Mari kita mulai dari yang pertama: koordinasi. Ini adalah kata yang mudah diucapkan tapi sangatlah susah dipraktikkan di lapangan. Lemahnya koordinasi antarlembaga bisa jadi dipicu kurangnya “chemistry” yang positif di antara pemimpin…
Keywords: Bom di Gereja, Terorisme, 
Artikel Majalah Text Lainnya
OPEC, Produksi dan Harga Minyak
1994-05-14Pertemuan anggota opec telah berakhir. keputusannya: memberlakukan kembali kuota produksi sebesar 24,53 juta barel per…
Kekerasan Polisi
1994-05-14Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi perlu dicermati. terutama mengenai pembinaan sumber daya manusia…
Bicaralah tentang Kebenaran
1994-04-16Kasus restitusi pajak di surabaya bermula dari rasa curiga jaksa tentang suap menyuap antara hakim…