Membaca Imagologi Orang Cina Dalam Sastra Kolonial

Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-04-17 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


SEGERA setelah menginjakkan kaki di Sumatera, Hans Tongka, pemuda Jerman berusia 20 tahun dan tokoh utama sebuah novel, dikenalkan kepada dua macam kuli Cina di perkebunan: bad stinker dan good stinker. Menurut pencerita dalam novel itu, stinker adalah sebutan bagi kuli Cina yang fisiknya telah lemah karena penyakit atau candu, tapi tetap dipekerjakan untuk tugas-tugas yang tak begitu berat. Pengisi strata terbawah pekerja perkebunan itu disebut good stinker jika mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan lumayan, tapi akan menjadi bad stinker bila tak berguna sama sekali.
Hans, yang baru datang dari Eropa dan sedang dijamu oleh Vonck, seorang pekebun, menyaksikan tatkala tuan rumahnya bersama sejumlah asisten memukuli seorang kuli Cina yang mencoba kabur hingga kulitnya robek dan darahnya mengucur. Perihal penganiayaan itu, seorang asisten berkomentar, “Ah, dia hanya seorang stinker.”

Sampul buku Bukan Takdir, Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara, karya Widjajanti Dharmowijono.
Novel berjudul Hans Tongka’s Carriére (Karier Hans Tongka) itu ditulis oleh Dé-lilah pada 1898. Fokus utamanya adalah seputar bagaimana Hans yang kurang berpendidikan di negara asalnya membangun impian tentang kesempatan lebih baik di Hindia yang molek dan, pada akhirnya, berhasil memiliki karier moncer di perkebunan Sumatera. Namun, di antara narasi perjalanan Hans, ada informasi tentang bagaimana kuli-kuli Cina yang bekerja di perkebunan itu diperlakukan dan dicitrakan. Hans kelak juga turut menjadi pelaku penyiksaan itu. “Hans tidak ragu-ragu memakai tongkat rotannya yang tebal karena menurut Vonck cara terjitu mengajari orang Cina supaya tidak kurang ajar adalah dengan cara menghajarnya,” begitu tertulis dalam novel.
Pencitraan orang Cina dalam karya sastra ini menjadi fokus penelitian Widjajanti W. Dharmowijono yang dia rangkum dalam buku Bukan Takdir: Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara. Buku setebal 664 halaman ini diluncurkan pada awal April lalu, 12 tahun setelah Widjajanti menyelesaikan karya itu sebagai disertasi untuk mendapatkan gelar doktor di bidang sastra dan filsafat dari Universiteit van Amsterdam, Belanda. Widjajanti, yang akrab disapa Inge, menelisik lebih dari 200 judul karya sastra kolonial Belanda yang terbit pada 1880-1950 untuk membongkar bagaimana penulis-penulis pada periode itu memposisikan orang Cina dalam cerita mereka. Temuan Inge tak terlalu menggembirakan. “(Karya-karya) ini memperlihatkan sejumlah prasangka atas orang Cina yang sampai sekarang masih terus berkembang,” ujar Inge dalam peluncuran bukunya.
Dalam novel Dé-lilah tersebut, misalnya, Inge menyoroti bagaimana narasi di dalamnya menempatkan kuli Cina bukan sebagai manusia, melainkan menerima perlakuan tak ubahnya seekor hewan. Kadang mereka tak dipanggil dengan nama, hanya angka, misalnya kuli ladang nomor 18. Kuli Cina dicitrakan sebagai kurang ajar, tak dapat diatur, kasar, dan tak apa-apa dibunuh karena “ada cukup banyak orang Cina di dunia ini”. Berbagai penyiksaan yang dilakukan Hans Tongka dikesankan sebagai pekerjaan sehari-hari yang perlu dilakukan ketimbang suatu persoalan yang patut disoroti.

Kedatangan buruh kontrak asal Tionghoa Selatan di pelabuhan Belawan, Medan, pada 1903. KITLV
Dé-lilah adalah nama samaran yang digunakan L. van Renesse, istri seorang pekebun tembakau di Deli.…

Keywords: Masyarakat TionghoaSastra
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…