Kisah Dua Sastrawan Lekra

Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-05-01 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :


PURWAKARTA, Jawa Barat, tahun 1969. Sekitar pukul 10 malam, satu regu anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertubuh tegap, berkumis tebal, dan bermata merah mendatangi sebuah rumah. Pasukan bersenjata lengkap itu lalu membawa pergi salah satu penghuninya. Seorang ibu dari enam anak.
Perempuan itu bernama S. Rukiah. Usianya sekitar 42 tahun. Kalangan penulis Indonesia periode itu mengenal dia sebagai sastrawan yang aktif menulis di surat kabar dan majalah kebudayaan Indonesia sejak 1940-an. Pada 1950, ia menerbitkan novela berjudul Kejatuhan dan Hati. Pada 1952, buku kumpulan puisi dan cerita pendeknya, Tandus, mendapat penghargaan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Ia pernah menjadi anggota staf Pujangga Baru dan menulis beberapa editorial untuk majalah kebudayaan bergengsi yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana tersebut. Malam itu, ia dicokok tentara karena keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

The Fall and the Heart
Rukiah diangkut menuju arah Bandung, melewati jalan beraspal yang sesekali diselingi rimba. “Saya berkeyakinan penuh kepastian, bahwa malam itu juga saya akan dibunuh di dalam hutan, dan mayat saya akan ditinggalkan begitu saja, tanpa orang mengetahui, bahwa orang yang telah dibunuh itu adalah seorang pengarang wanita Indonesia yang sangat, sangat cinta kemerdekaan,” tulis Rukiah kepada penerjemah karya sastra, John McGlynn, dalam sebuah suratnya bertanggal 20 Desember 1981.                      
Rukiah tak menjumpai maut malam itu. Dia pada akhirnya menjadi tawanan. Selama beberapa bulan di penjara, setiap hari dia disuruh menonton dan mendengar raung kesakitan para tahanan lain yang disiksa, termasuk disetrum. “Sejak itu, saya kena sakit saraf yang agak parah,” Rukiah menulis dalam suratnya. Surat Rukiah pada 1981 yang ditulis dengan ketikan rapi kepada John McGlynn itu mungkin adalah tulisan pertamanya kepada pengamat sastra Indonesia setelah ia menghilang dari dunia sastra sejak 1965. Surat tersebut diawali dengan kalimat yang menerangkan kondisi dirinya saat itu:

Tandus
“Surat saudara sudah saya terima beberapa hari yang lalu. Agak lambat saya membalasnya, karena sibuk mengurus cucu2 yang baru saja berkumpul di rumah. Sekarang mereka sudah kembali lagi ke Jkt.
Sesungguhnya—sudah lama saya tak pernah berpikir yang berat2, karena enam belas tahun ini saya memang saya hanya bekerja dan berpikir yang enteng2 saja. Kalau saudara ingin tahu, sekembali dari tahanan, saya bekerja di sebuah klinik bersalin, bagian obat2an (apotek). Jadi selama ini saya hanya bergaul dengan pasien2 hamil yang mau melahirkan bayinya dan mengurus obat2an buat mereka. Saya tak pernah lagi memikirkan soal2 kesusastraan, filsafat dan kebudayaan yang memang sebetulnya sangat saya gemari di waktu lampau. Pokoknya—saya sudah melupakan dan meninggalkan kehidupan dan kebiasaan saya di zaman silam. Kadang2 saya hanya mengingat bahwa zaman itu hanyalah sebuah mimpi. Bahwa saya pernah menjadi pengarang wanita yang dihargai umum di zaman dulu, bahwa saya pernah menjadi pengarang wanita yang telah berhasil mendapat hadiah sastra, itu hanyalah sebuah mimpi yang nikmat….”


•••
S. Rukiah lahir dan besar di Purwakarta. Perempuan kelahiran 25 April 1927 ini menamatkan pendidikan guru pada usia 18 tahun, lalu mengajar di Sekolah Gadis Purwakarta. Pada saat yang sama, Rukiah juga aktif di Palang Merah Indonesia. Posisi Purwakarta sebagai…

Keywords: Sastra
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…