Tak Berhenti Menyengat: Suara Kartun Asia Tenggara Kini
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-05-15 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
LATAR yang membara. Warna merah bak api bersambung dengan jingga yang menyala. Mulut dibungkam, demokrasi rontok ke udara. Bedil serupa penjara. Menopang topi militer bertulisan “junta” yang berhias tengkorak manusia. Topi itu menindas berjubel manusia, yang berimpitan dengan monster hijau, mirip visual coronavirus. Ini adalah kartun karya Tommy, 41 tahun, yang dikenal dengan nama pena Thomdean. Karya Thomdean jauh dari jenaka. Gambarnya satire, merujuk pada kondisi politik di Myanmar yang saat ini genting.
Thomdean, yang pernah menjadi kartunis editorial di sejumlah harian di Indonesia, membuat kartun itu untuk The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition. Pameran tersebut digelar secara daring di situs Craftora.com pada 3-30 Mei 2021 atas inisiasi kartunis politik Malaysia, Zunar, dan organisasi nirlaba Hujah Ehsan. Zunar sudah lama merencanakan pameran ini. Namun idenya baru dieksekusi pada Desember tahun lalu dengan memilih platform digital sebagai ruang pameran. Zunar menyebutkan tema pameran tentang hak asasi manusia sangat penting karena banyak kartunis di negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang keras mengkritik pemimpin negara lain, seperti Korea Utara, Cina, dan Amerika Serikat, tapi luput bersuara terhadap persoalan hak asasi di negerinya sendiri.
Kartun bertema "Solidaritas Untuk Myanmar" karya Zunar dalam pameran daring The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition.
Tercatat ada 37 kartunis dari 5 negara yang menampilkan total 100 karya. Kelima negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Indonesia mengirimkan 13 orang, di antaranya Yuyun Nurrachman, mantan kartunis editorial majalah Tempo. Sebagian dari puluhan kartunis itu juga membuat kartun tentang Myanmar sebagai bentuk kritik sekaligus solidaritas terhadap perjuangan sipil di sana. Sayangnya, hanya ada seorang kartunis Myanmar yang berpartisipasi dalam pameran ini. “Sebelumnya ada tiga orang dari Myanmar yang tertarik ikut, tapi akhirnya hanya satu orang, yakni Sai Lai. Namun kami terakhir kali bisa mengontaknya pada Maret lalu,” kata Zunar, yang mempunyai nama lengkap Zulkiflee Anwar Ulhaque, dalam wawancara via konferensi video dengan Tempo, Selasa, 4 Mei lalu.
Adapun untuk tema utamanya, peserta pameran mengirimkan karya bertema kondisi hak asasi manusia di negeri sendiri. Isu HAM memang aduhai bagi sejumlah kartunis. Topik ini “seksi” sebagai tema sebuah gambar, tapi di sisi lain berpotensi membikin geger karena obyek kritiknya kerap kali adalah penguasa. Thomdean, misalnya, selain menggambar tentang Myanmar, dia membuat kartun tentang Papua dan kebebasan berpendapat; topik yang hangat di negeri ini.
Kartun bertema "Solidaritas Untuk Myanmar" karya PSSYPPL dalam pameran daring The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition.
Ilustrasinya nakal. Pendiri sindikasi kartunis Joker Syndicate itu menggambar seseorang yang ragu mengetikkan sesuatu di layar telepon selulernya. Hal itu terjadi karena ruang tempat orang tersebut berekspresi sudah dipagari oleh aparat dan pihak lain. Bertajuk Human Rights 4.0, karya Thomdean itu menyorot tindakan pemerintah dan lembaga tertentu yang mengawasi perilaku dan ucapan kita di media sosial. “Sekarang bicara apa saja di medsos bisa ditindak. Demokrasi 4.0 menjadi bumerang karena kita belum sampai pada tahap respek terhadap pendapat orang lain,” ujarnya melalui sambungan telepon, Sabtu, 8 Mei lalu.
Kebebasan berpendapat di media sosial juga menjadi topik yang dipilih Toni Malakian. Mantan kartunis editorial yang kini bekerja lepas itu mengilustrasikannya lewat permainan biliar. Sang pemain memakai baju bertulisan “government” dengan gambar bendera Indonesia. Namun ia tak membidik dengan tongkat sodok, melainkan dengan senjata api yang mengincar orang-orang vokal. Obyek tembakannya bakal nyemplung ke bui yang digambarkan Toni seperti keranjang besi.
Sebelum membuat kartun ini, Toni mengaku sempat bimbang. Terutama saat membubuhkan kata “government”, yang bisa jadi menyinggung orang. Namun akhirnya ia urung menyensor idenya. “Biar saja kalau karya saya dianggap terlalu berani. Prinsipnya, saya akan tetap ngomong (lewat kartun) kalau memang merasa harus seperti itu,” ucapnya saat dihubungi pada Sabtu, 8 Mei lalu. Toni sempat ragu karena ia kadang mendapat ancaman lewat pesan privat di akun media sosialnya. Dia biasanya diancam setelah membuat kartun kritik, seperti tentang omnibus law, korupsi, dan kerusakan lingkungan. Ancaman datang dari warganet ataupun organisasi kemasyarakatan.
Kartun bertema "Solidaritas Untuk Myanmar" karya Josua Cabrera dalam pameran daring The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition.
Pameran digital kartunis ASEAN sendiri tak lepas dari tangan-tangan jail. Pada 8 Mei…
Keywords: Seni Kontemporer, Seni Rupa, Zunar, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…