Sutardji: Pembebasan Kata-kata Dan Makna
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-08-21 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
DUA puluh empat Juni lalu, penyair Sutardji Calzoum Bachri genap berusia 80 tahun. Tak banyak yang merayakannya. Tapi sebuah buku mengenai dirinya yang ditulis oleh penyair Taufik Ikram Jamil diluncurkan. Buku berjudul Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian itu membahas riwayat hidup Sutardji semenjak kecil, juga bagaimana lingkungan tradisi Melayu membentuk pandangannya terhadap kata-kata, makna, dan sajak. Sutardji menyatakan bahwa dia menulis di atas sebuah kultur tulisan—subkultur yang telah memiliki akar jauh, yaitu mantra dan pantun Melayu. Pengamat sosial Ignas Kleden mengatakan sajak dan konsep Sutardji tentang kata menerobos hipokrisi dalam bahasa.
•••
HAMPARAN lahan kosong itu kini dilekati tetumbuhan liar. Tak ada isyarat bahwa puluhan tahun lalu di sana pernah berdiri sebuah hunian berarsitektur Belanda. Dulu rumah itu beberapa kali berganti gaya, direnovasi sesuai dengan tren pada masanya. Pada 1950-an, rumah yang berlokasi di kawasan Gudang Minyak, Batu 2, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, itu mematut diri dengan taman beraneka bunga. Di sanalah dulu penyair Sutardji Calzoum Bachri remaja sempat tinggal bersama orang tua dan kakak-adiknya.
Sutardji, 80 tahun, muncul di panggung sastra Indonesia dengan kredo puisi yang menghantam. Di majalah Horison Nomor 12 Tahun IX Desember 1974, ia menuliskan dari Bandung—tempat tinggalnya saat itu—kredonya yang terkenal: mengembalikan kata kepada mantra. “Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri…. Sebagai penyair saya hanya menjaga—sepanjang tidak mengganggu kebebasannya—agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri bisa mendapat aksentuasi yang maksimal…,” tulisnya.
Para kritikus menganggap pemikirannya itu melawan bentuk puisi yang sudah mapan. Pengamat sastra Dami N. Toda sampai menyatakan bahwa bila sajak Chairil Anwar ibarat mata kanan puisi Indonesia, sajak Sutardji adalah mata kiri. Sebab, Sutardji menggeledah tata bahasa, membebaskan kata dari penjajahan pengertian, menganggap kata sebagai suatu hal yang berdiri sendiri dan tak memikul tanggung jawab atas konsep apa pun.
Sutardji saat itu dengan garang memproklamasikan bahwa dia membebaskan kata dari tradisi lapuk kamus yang membelenggu. Bak Zarathustra, ia berseru agar kata-kata menolak kolonisasi moral kata serta penaklukan gramatika. Mengusung kredo demikian, penampilannya sebagai penyair di panggung tak terelakkan eksentrik. Liar. Dengan jaket jins, sebotol bir kerap berada di podium saat ia melantangkan sajak-sajaknya.
“Kredo itu ditulis Sutardji di Bandung. Saat itu yang mengetikkannya adalah penyair (almarhum) Hamid Jabbar yang dulu juga tinggal di Bandung dan bersama-sama Sutardji kemudian hijrah ke Jakarta,” kata Taufik Ikram Jamil, yang menerbitkan buku Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian pada Juni lalu. Buku Taufik ini panjang-lebar menelusuri proses kreatif Sutardji secara intim dengan mewawancarai beberapa sanak saudara dan sahabat Sutardji. “Kalau Tardji (panggilan Sutardji Calzoum Bachri) saat itu suka menampilkan diri dengan bir, menurut saya karena ketika itu secara umum bir memang murah di Kepulauan Riau. Sejak Indonesia merdeka sampai 1963, Riau menggunakan mata uang dolar. Nilai tukarnya tinggi sehingga orang membeli bir murah. Tardji merasakan suasana bagaimana Riau masih menggunakan uang dolar. Ia berangkat ke Jawa pada 1958,” ucap Taufik.
Pentas tari di acara Festival Sutardji Calzoum Bachri di Pekanbaru, Riau, Juni 2021. TEMPO/Nizamul Akhyar
Tentu kini, pada 80 tahun usianya, Sutardji sudah jauh dari bir di panggung. Tapi ia masih eksentrik. Tahun ini, ia meluncurkan buku kumpulan puisi Kecuali, yang lahir kembali dari kumpulan puisi Petiklah Aku. Di situ Sutardji menuliskan kredo kedua yang memperkuat kredo pertamanya. Kredo kedua Sutardji terasa cenderung spiritual. Ia menyatakan kata-kata tidak sekadar digunakan untuk menyampaikan rasa atau puisi kepada pembaca, tapi, bisa jadi, dalam kecenderungan ekstremnya, kata-kata adalah puisi itu sendiri yang datang menjadi. Sutardji dalam kredo keduanya itu menegaskan bahwa Tuhan Yang Maha Kecuali mengecualikan puisi dari kelaziman kamus: tradisi, sejarah, nilai kolektif.
Sosiolog dan pengamat sastra Ignas Kleden menilai Sutardji meniupkan fungsi puisi yang lebih radikal ketimbang penyair lain. Pemikiran peneliti dari Barat yang…
Keywords: Budaya, Sutardji Calzoum Bachri, puisi, Penyair, Sastrawan, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…