Merasa Sendiri Di Masa Pandemi
Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-11-27 / Halaman : / Rubrik : KSH / Penulis :
"Astagfirullahaladzim!!!" Putri, 31 tahun, tak henti menyebutkan kata tersebut setelah hampir mencelakai anaknya dengan membekapnya menggunakan bantal pada Desember tahun lalu. Sebelumnya, ia juga hampir menyumpal mulut anak kandungnya yang baru berusia sekitar 1 tahun itu dengan handuk saat sedang memandikannya. Ia jengkel mendengar tangisan dan teriakan anaknya.
Perubahan sikap dan gejolak emosi ekstrem yang dialami Putri bukan tanpa sebab. Dosen di sebuah perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur, merasa kewalahan menghadapi paruh kedua 2020. "Banyak tagihan sebagai dosen, dari tagihan nilai mahasiswa sampai proposal penelitian," katanya, Rabu, 17 November lalu.
Namun, dia menambahkan, persoalan sebenarnya lebih dari sekadar beban kerja yang meningkat berkali lipat di akhir tahun. Semula Putri merasa senang ketika kebijakan bekerja dari rumah (WFH) diberlakukan. Dengan bayinya yang saat itu berusia enam bulan, ia merasa punya kesempatan lebih baik untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif tanpa harus repot-repot memompa setiap hari.
Beberapa bulan bekerja dari rumah, ia mulai merasa burnout. Sejak ia menjalani WFH, anaknya menjadi sangat bergantung pada kehadirannya. Sedangkan pekerjaan lain, seperti memasak dan membuat makanan pendamping ASI, tak bisa ia kesampingkan.
Meski di rumah ada ibu, suami, keluarga kakaknya, dan seorang pembantu, tak seorang pun yang dapat bergantian mengasuh anak semata wayangnya itu. Putri dianggap bisa mengasuhnya sendiri karena selalu berada di rumah. "Siang hari aku benar-benar tidak bisa kerja," tuturnya.
Putri baru bisa bekerja di atas pukul 21.00, saat anaknya sudah tidur, hingga pukul 01.00 atau 02.00, ketika anaknya bangun lagi meminta susu. Putri punya kesempatan tidur kurang dari lima jam setiap hari.
Di tengah tekanan yang seperti tiada henti, Putri mulai kehilangan kesabaran. Kecenderungan menyakiti anak bermula ketika suatu hari ia melempar kursi makan sang anak ke luar rumah karena kesal anaknya tak mau makan.
Dalam kondisi sangat tertekan dan letih, suatu malam ia menceritakan kondisinya sambil menangis kepada sang suami. Tapi suaminya malah meminta dia beristirahat jika sudah merasa capek. "Dia enak bisa bilang begitu karena tidak pernah merasakan posisi aku. Dia kerja tidak terganggu oleh urusan anak rewel tantrum," ucapnya.
Di kampus, ia juga mulai merasa diasingkan. "Sewaktu membentuk kelompok penelitian, yang lain sudah grouping, aku enggak diajak dan setiap orang yang kuajak ternyata sudah punya kelompok," katanya. Dia mulai diserang bermacam kekhawatiran.
Kekhawatirannya makin menjadi ketika salah seorang dosen, temannya, meninggal karena Covid-19 setelah mereka sempat bertemu. Putri khawatir terjangkit penyakit itu dan akan menulari keluarganya. Meski belakangan diketahui hasil tesnya negatif, dia telanjur mengalami stres.
Di tengah tekanan yang menumpuk dan merenggut kewarasannya, Putri merasa sendiri. Ia merasa suaminya tak ada di sampingnya meski mereka tidur bersebelahan. Ia…
Keywords: Stres, Covid-19, Pandemi, Kesehatan Mental, Depresi, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Awas, Olahraga dan Rapuh Tulang
1994-05-14Olahraga keras dan berlebihan bisa mengakibatkan rapuh tulang. pelari maraton, pebalet, atlet dayung, dan pelatih…
Dari Mana Raja Singa di Wamena?
1994-04-16Banyak penduduk pedalaman irian jaya ditemukan mengidap penyakit kelamin. sejumlah pria pernah diundang "pesiar" ke…
Cangkok Cara Tegalrejo
1994-04-16Rumah sakit tegalrejo semarang mencatat sukses mencangkok sumsum penderita talasemia. tanpa transfusi, pasien bisa hidup…