Sejarawan Agama Mun
Edisi: 14/47 / Tanggal : 2018-06-03 / Halaman : 92 / Rubrik : WAW / Penulis : , ,
Mun'im Sirry sempat terguncang batinnya saat mempelajari sejarah agama. Bagi pria asal Madura itu, banyak perbedaan antara Islam yang tampil dalam teks serta penelitian historis dan keyakinan yang ia anut sejak lahir tersebut.
Doktor studi Islam dari University of Chicago Divinity School, Amerika Serikat, itu menuliskan perbedaan tersebut dalam lima bukunya. Isinya menuai kontroversi. Pandangannya tentang Islam bertentangan dengan keyakinan kebanyakan muslim. Misalnya soal Islam menjadi agama yang sempurna setelah Allah menurunkan Surat Al-Maidah ayat 3 kepada Nabi Muhammad. Menurut Mun'im, dokumen sejarah menunjukkan Islam tak berbeda dengan Yahudi dan Kristen, yang butuh ratusan tahun untuk menjelma dari kultus menjadi agama. Namun, dia mengatakan, perbedaan pandangan tersebut bukan untuk dipertentangkan. "Harus kita bedakan antara Islam teologis dan Islam historis," kata Mun'im, 47 tahun, dalam wawancara khusus di kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Asisten profesor sejarah agama di University of Notre Dame, Amerika Serikat, ini mengatakan melek tarikh diperlukan untuk mendapatkan konteks yang tepat dari suatu ayat, termasuk mengenai kekerasan. Ia menuturkan, para pemikir Islam perlu memberikan penafsiran ulang atas ayat-ayat perang di Al-Quran, yang dijadikan dalil pelaku kekerasan atas nama Islam.
Sebelum menjadi revisionis, Mun'im mendalami pelbagai orientasi pemikiran Islam. Ia aktif dalam pengajian Al-Ikhwan al-Muslimun, Wahabi, dan jihadis selama enam tahun di Pakistan. Tapi ia merasa tak mendapatkan jawaban memuaskan tentang ketuhanan, lalu menjadi agnostik dan liberal saat kembali ke Indonesia pada 1998. "Saat itu semua yang haram saya anggap mubah (boleh), ha-ha-ha...," katanya.
Ia mengaku telah meninggalkan titik Islam liberal sejak belajar di Amerika Serikat dan menjadi lebih moderat. "Islam yang saya yakini pasti berbeda. Tapi itu tidak mengurangi keyakinan bahwa saya muslim."
Untuk memberi perspektif lebih utuh, Tempo mewawancarai Komaruddin Hidayat, guru besar filsafat agama Universitas Islam Negeri Jakarta, secara terpisah.
Pelaku kekerasan berdasarkan agama kerap bersandar pada ayat-ayat Al-Quran. Bagaimana menangkalnya?
Perlu rethinking, penafsiran kembali, ayat-ayat perang. Pertama, kita perlu mengakui ada problem dalam Al-Quran, yaitu ada ayat-ayat yang mengajak melakukan kekerasan. Sekarang ada kecenderungan sebagian orang untuk denial. Saat terjadi teror bom kemarin (teror bom di Surabaya dan Sidoarjo), orang beramai-ramai mengatakan pelaku bukan bagian dari Islam. Padahal, tidak bisa dimungkiri, motivasinya adalah Islam. Setelah mengakui itu, sarjana-sarjana muslim progresif harus memberikan penafsiran sehingga ayat-ayat polemik itu tidak menghalangi hubungan koeksistensi yang damai. Kedua, kita perlu menggunakan istilah-istilah yang akrab dengan yang terjadi sekarang.
Contohnya?
Kalau ayatnya mengatakan "Bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun kalian menemukan mereka", kita cari padanannya dalam istilah yang berat. Bisa ethnic cleansing atau genosida. Penamaan penting dalam rethinking supaya orang ngeri dan menolak.
Bukankah penamaan negatif tersebut bisa mendiskreditkan ayat suci?
Ada proses sampai kita memiliki keberanian menawarkan pandangan berbeda. Sesudah meyakini ada problem dan menggunakan penamaan, akan terbentuk asumsi-asumsi. Misalnya berpikir, "Walaupun…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…