Sebuah Eksperimen, Berumur Setengah Abad
Edisi: 39/47 / Tanggal : 2018-11-25 / Halaman : 96 / Rubrik : CTP / Penulis : Goenawan Mohamad, ,
SEBUAH harapan yang nekat: Taman Ismail Marzuki didirikan di tahun 1968. Kini, 2018, pada usia seteÃâÃÂngah abad, harapan itu masih juga agak nekatâââ‰â¬Âatau belum jelas bentuknya. Dilihat masa itu, juga kini, pusat kesenian itu sebuah eksperimen besar, berani, meskiÃâÃÂpun belum disepakati sejauh mana ia berharga.
Kita tahu kesenian sebuah kehidupan yang membingungÃâÃÂkan bagi banyak orang di Indonesia: pejabat, birokrat, polisi, pengusaha, guru sekolah, ulama, orang ramai. Yang lazim diÃâÃÂanggap seni pertunjukan terbatas pada jenis yang dipilih unÃâÃÂtuk meramaikan perhelatan resmi. Yang dianggap seni luÃâÃÂkis karya-karya corak ââ∠âHindia Molekâââ¬ÃÂ: gunung, sawah, kemÃâÃÂbang, perempuan cantik.
Pendidikan di sekolah telah menyesatkan sampai hari ini. Dan apa boleh buat: kesenian Indonesia memang sebuah aneÃâÃÂka ragam tanpa satu garis sejarah.
Para penelaah sering mencoba mengklasifikasikan karut-marut itu dengan label-label; tapi semua guyah. Ada yang cuma mengadopsi istilah sejarah Eropa yang sebenarnya tak kita alaÃâÃÂmi (ââ∠âekspresionismeâââ¬ÃÂ, ââ∠ârealismeâââ¬ÃÂ...). Kategori ââ∠âtradisionalâââ¬Ã dan ââ∠âmodernâââ¬Ã juga dibuat seakan-akan ada unsur kronologi di dalam ekspresi. Tapi di mana akan kita letakkan ciptaan CoÃâÃÂkot, seorang petani Bali abad ke-20, yang patungnya bisa dibanÃâÃÂdingkan dengan karya Giacometti dan Picasso? Di mana kita goÃâÃÂlongkan pementasan Slamet Gundono, yang dengan gamelan sederhana dan wayang seadanya mengiringi Serat Centhini daÃâÃÂlam tafsir seorang penulis Prancis, Elisabeth Inandiak?
Kata ââ∠âkontemporerâââ¬Ã juga asal-asalan. Jika ââ∠âkontemporerâââ¬Ã berarti ââ∠âsezaman kitaâââ¬ÃÂ, atau sesuatu yang baru, komposisi gaÃâÃÂmelan Rahayu Supanggah untuk teater Robert Wilson I La GaÃâÃÂligo dan opera Gandari Tony Prabowo berada dalam satu keÃâÃÂlompok.
Bahasa dan pendekatan yang ada selalu tak memadai. Ini yang membuat pengertian ââ∠âpusat kesenianâââ¬ÃÂâââ‰â¬Âtempat semua unsur seni berasal atau berujungâââ‰â¬Âbisa dipersoalkan. Tapi meÃâÃÂngejutkan bahwa setengah abad yang lalu Gubernur Ali SadiÃâÃÂkin, seorang jenderal marinir yang mengaku tak tahu apa-apa tentang kesenian, memproduksi barang yang problematis itu dengan berani. Dan dengan niat yang terpuji.
Bagaimana mungkin?
l l l
Saya menulis ini sebagai catatan ingatan dari akhir tahun 1960-an:
Mungkin sejak awal 1968, sebuah kampanye kecil-kecilan dilancarkan, agar pemerintah DKI Jakarta membangun seÃâÃÂbuah pusat kesenian.
Di baliknya para wartawan yang juga seniman dan seniman yang juga wartawan yang aktif menulis untuk mengegolkan ide itu: Arief Budiman, Arifin C. Noer, Salim Said, juga sayaâââ‰â¬Âdi harian Kompas, Harian Kami, harian Angkatan Bersenjata, PeÃâÃÂlopor, mungkin juga Sinar Harapan.
Kemudian saya dengar budayawan Ilen Suryanegara dan Ajip Rosidiâââ‰â¬Âyang mengenal Ali Sadikin secara pribadiâââ‰â¬Âjuga berhasil meyakinkannya.
Cita-cita agar Indonesia memiliki pusat-pusat kesenian suÃâÃÂdah lama diperam. Seingat saya, Oesman Effendi (pelukis) dan Trisno Sumardjo (perupa dan penerjemah ShakespeaÃâÃÂre) pernah menuliskan gagasan itu di sebuah majalah kebudaÃâÃÂyaan di awal 1950-an. Ketika di tahun 1966 Ali Sadikin diangÃâÃÂkat jadi gubernur, dan Jakarta seperti dilahirkan kembali, dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Xu
1994-05-14Cerita rakyat cina termasyhur tentang kisah percintaan xu xian dengan seorang gadis cantik. nano riantiarno…
Zlata
1994-04-16Catatan harian gadis kecil dari sarajevo, zlata. ia menyaksikan kekejaman perang. tak jelas lagi, mana…
Zhirinovsky
1994-02-05Vladimir zhirinovsky, 47, banyak mendapat dukungan rakyat rusia. ia ingin menyelamatkan ras putih, memerangi islam,…