Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj: Kader Militan Nu Mendukung Jokowi-maruf

Edisi: 02/48 / Tanggal : 2019-03-10 / Halaman : 40 / Rubrik : LAPUT / Penulis : Reza Maulana, Raymundus Rikang,


KURANG dari dua bulan sebelum pemilihan presiden dan pemilihan umum, Nahdlatul Ulama menggelar musyawarah nasional alim ulama dan konferensi besar sejak Rabu hingga Jumat pekan lalu. Perhelatan yang berlangsung di Pondok Pesantren Mifahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, itu dihadiri belasan ribu orang, termasuk Presiden Joko Widodo dan sejumlah menterinya pada saat pembukaan.

Sejumlah pengamat politik menyamakan Musyawarah Nasional NU‚dipandang sebagai organisasi massa pendukung Joko Widodo-KH Maruf  Amin dengan Malam Munajat 212 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, sepekan sebelumnya. Doa bersama yang diprakarsai antara lain oleh Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta itu menuai kon­troversi setelah Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Neno Warisman,

melantunkan puisi yang berisi kekhawatiran tak ada lagi yang me­nyembah Tuhan kalau Tuhan tidak memenangkan calon presiden pilihannya.



Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Kiai Haji Said Aqil Siroj membantah tudingan bahwa Munas NU ber­isi agenda politik. Dia mengatakan, sejak 2010, muktamar sebagai forum tertinggi NU mewajibkan pengurus mengge­lar dua musyawarah nasional dalam satu periode kepengu­rusan. Said memimpin NU selama dua periode, yaitu 2010-2015 dan 2015-2020. “Munas pertama pada 2017 di Lombok. Mau tidak mau, munas kedua harus tahun ini,â€Â kata Said da­lam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu.



Said, 65 tahun, mengatakan pergelaran rutin itu beragen­dakan serangkaian diskusi tentang berbagai isu, dari sam­pah plastik, revolusi industri 4.0, Rancangan Undang-Un­dang Pesantren dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga konsep Islam Nusantara. Diskusi itu berlangsung da­lam forum Bahtsul Masailâ€â€Âmusyawarah panjang yang me­rujuk pada kitab kuning seperti yang biasa berlangsung di pesantrenâ€â€Âdan terbagi dalam komisi Waqi’iyyah (persoal­an aktual), Maudhuiyyah (persoalan tematik), serta Qanu­niyyah (persoalan perundang-undangan). Rekomendasi alim ulama diserahkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menutup musyawarah nasional tersebut.



Meski menolak disebut berpolitik praktis, Said mengata­kan organisasi dengan pengikut lebih dari 60 juta itu memi­liki bobot politis karena massanya yang besar. “Jadi rebut­an berbagai kepentingan untuk memenangkan kelompok satu atau yang lain,â€Â ujar profesor ilmu tasawuf ini.



Di tengah padatnya jadwal musyawarah nasional, Said menerima wartawan Tempo Mohammad Reza Maulana dan Raymundus Rikang di Kota Banjar. Ia berbicara panjang-le­bar tentang majunya KH Ma’ruf Aminâ€â€Âmantan Rais Am (dewan penasihat) PBNUâ€â€Âsebagai calon wakil presiden, hu­bungannya dengan Presiden Jokowi, serta sikap politik or­ganisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia tersebut. Said enggan berkomentar tentang Ustad Abdul Somad, dai kondang yang dianggap berseberangan dengan pemerin­tah, yang baru-baru ini berkunjung ke sejumlah kiai sepuh NU. “Penting banget apa? Somad aja kok ditanyakan.â€Â



Banyak pihak menghubungkan Musya­warah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama dengan pemilihan presiden. Tanggapan Anda?



Tidak ada kaitannya. Penjadwalannya memang begini. Munas pertama kepe­ngurusan 2015-2020 berlangsung pada 2017 di Lombok. Harus segera munas

se­kali lagi sebelum Muktamar 2020. Mau ti­dak mau, ya, sekarang. Sama sekali tidak berhubungan dengan politik praktis. Ada­pun NU punya bobot politis, diperhitung­kan siapa pun dari sisi politik, iya. Sebab, NU massanya besar, jadi rebutan berba­gai kepentingan untuk memenangkan ke­lompok satu atau yang lain. Karena itu, saya wanti-wanti tidak ada spanduk dan umbul-umbul yang bergambarkan Joko­wi-Ma’ruf.



Di sepanjang jalan dari Kota Banjar ke Pesantren Citangkolo, banyak sekali

span­duk Jokowi-Ma’ruf....



Itu sudah ada sebelum munas. Pani­tia munas cuma pasang bendera NU. Saya wanti-wanti tidak ada yel-yel politik. Me­mang salah seorang calon wakil presiden kita, Kiai Ma’ruf Amin, adalah tokoh seni­or NU, bahkan mantan rais am. Masyara­kat NU terpanggil memenangkan orang tuanya, tanpa didorong-dorong. Kader militan NU, terutama santri, sudah pasti mendukung Jokowi-Ma’ruf.



Apakah tema munas, memperkuat ukhu­wah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), berkorelasi dengan pemilihan presiden?



Pilpres harus kita songsong dengan gembira. Ini pesta demokrasi. Seperti lomba olahraga atau baca Al-Quran. Se­mua ingin menang, tapi seharusnya hu­bungan peserta dan pendukungnya ber­jalan seperti biasa. Yang saya rasakan, se­ngaja atau tidak sengaja, tapi saya yakin sengaja, pendukung Prabowo dan pendu­kung Jokowi jadi bermusuhan. Ada kelan­jutan dari pemilihan Gubernur DKI Jakar­ta. Isunya Jokowi antek Cina; anti-Islam; mengkriminalisasi agama dan umat Is­lam; sekarang membubarkan Hizbut Tah­rir Indonesia, di masa datang bisa mem­bubarkan NU dan Muhammadiyah; se­karang Habib Rizieq dikriminalkan, sia­pa tahu yang akan dikriminalkan di masa datang?



Said Aqil?



Hi-hi-hi.... Ini serius. Ini lebih panas da­ripada 2014. Saya berpikir, pasca-pilpres, permusuhan ini juga masih bisa terjadi. Mudah-mudahan tidak. Makanya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

W
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08

Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…

Y
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29

Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…

B
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29

Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…