Seorang Epigrafis Yang Dilupakan, Louis Charles Damais (1911-1966)

Edisi: 33/48 / Tanggal : 2019-10-13 / Halaman : 52 / Rubrik : SEL / Penulis : Seno Joko Suyono, Isma Savitri,


IA seorang Prancis. Ia seorang poliglot, menguasai banyak bahasa. Ia gemar mempelajari penanggalan-penanggalan kuno. Ia seorang epigrafis yang banyak membaca inskripsi-inskripsi kuno Nusantara. Sumbangannya terhadap arkeologi klasik Nusantara banyak. Ia mati muda pada usia 55 tahun dan dikuburkan di Indonesia. Ia meninggalkan anak-cucu dari hasil pernikahannya dengan seorang perempuan Jawa.

Ia adalah Louis-Charles Damais. Namanya mungkin tak banyak dikenal khalayak. Menarik ketika Jean-Pascal Elbaz, mantan Direktur Pusat Kebudayaan Prancis Yogyakarta dan Alliance Française of Madras (India), membicarakan kehidupan Damais dalam sebuah ceramah berjudul “Sketches for A Portrait of Louis Charles Damais, A Life in Java in the Turmoil of History” di Institut Français Indonesia, Jakarta, pertengahan September lalu.

Pascal membuka surat-surat yang ditulis Damais dari Jakarta kepada Claire Holt, peneliti kebudayaan Indonesia asal Amerika Serikat yang saat itu tinggal antara New York dan Washington, DC. Surat-surat tersebut bercerita tentang situasi sosial Indonesia pada 1945-1947, zaman tatkala Belanda ingin menduduki kembali Indonesia tapi mendapat perlawanan dari rakyat.

===

MAKAMNYA berada di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Di antara ratusan makam, nisannya terlihat lebih uzur. Bentuknya melengkung dengan pucuk melancip, berbeda dibanding jirat lain, yang kebanyakan persegi. Samar-samar terbaca: “L.C. Damais lahir 26 Maret 1911 wafat 23 Mei 1966”.

Itulah makam Louis-Charles Damais, epigrafis besar asal Prancis yang tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Semula ia dimakamkan di TPU Blok P, Jakarta Selatan. Karena area permakaman itu dibongkar, keluarga akhirnya memindahkan kuburannya ke TPU Jeruk Purut. Sumbangan Louis-Charles Damais terhadap sejarah Indonesia besar. Ia mampu membaca banyak prasasti tua berumur ratusan tahun dari masa Mataram Kuno, dari era Syailendra, Mpu Sindok, sampai Majapahit. Ia berjasa turut menyingkap masa lalu Nusantara.

Riwayat intelektual Damais dan keahliannya yang langka mungkin tak akan sampai ke publik dan hanya diketahui lingkaran kecil arkeolog bila kita tak diingatkan Jean-Pascal Elbaz, peneliti dari Prancis. Sore itu, 18 September lalu, bertempat di Institut Français Indonesia, Jakarta, mantan Direktur Pusat Kebudayaan Prancis Yogyakarta itu membawakan ceramah dengan judul “Sketches for A Portrait of Louis Charles Damais, A Life in Java in the Turmoil of History”. Sejak sepuluh tahun lalu, Pascal tertarik melacak riwayat Damais.

Pascal datang ke Indonesia pada Juli 1991. Ia mulanya bekerja sebagai kontributor untuk sebuah penerbitan sastra kontemporer di Paris bernama POL. Sudah lama Pascal mendengar nama besar Louis-Charles Damais. “Louis Damais pendiri EFEO (École Française d'Extrême-Orient) Indonesia,” katanya. Meskipun di kalangan akademikus nama Damais menjulang, biografinya sangat minim.
Padahal kehidupannya, menurut Pascal, sangat menarik diselusuri, bagaimana dari Paris ia berminat meneliti inskripsi-inskripsi kuno Nusantara.

“Jarang sekali ada tulisan mengenai Louis Damais. Beberapa saat setelah dia meninggal, hanya ada obituari dari Jean Filliozat di jurnal EFEO dan sejarawan Harry J. Benda di majalah Indonesia terbitan Cornell University tahun 1967,” ujar Pascal. Benda (wafat pada Oktober 1971), penulis buku terkenal Bulan Sabit Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, sangat dekat dengan Damais. “Benda menjadi sejarawan karena pengaruh Damais.
Ketertarikan Benda terhadap Indonesia semula karena ia melihat Damais bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dan sangat antikolonialisme,” dia menambahkan.

Di Jakarta, Pascal berkenalan dengan Soedarmadjie Jean Henry Damais, putra sulung Louis-Charles Damais yang pernah menjadi Direktur Museum Fatahillah. Dalam berbagai kesempatan, Pascal menggali riwayat Damais dari Soedarmadjie. Juga dari adik Soedarmadjie, Asmoros. “Saya oleh Mas Adjie (panggilan akrab Soedarmadjie Damais) juga diperkenalkan kepada ibunya (Soedjatoen Abdul Arief Poespokoesoemo),” ucapnya. Perkawinan Louis-Charles Damais dan Ibu Toen—panggilan istri mendiang Damais—membuahkan tiga anak. Putri keduanya, Tamara, sudah meninggal. Pascal rajin menanyakan bermacam hal mengenai Louis-Charles Damais kepada keluarga Damais. Sampai suatu hari Pascal ingat, ia diminta Adjie datang ke Museum Fatahillah.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…