Membaca Revolusi Dari Beragam Perspektif
Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-02-27 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
BEGITU masuk, pengunjung disambut dengan ruangan yang praktis kosong. Pada dinding besar hanya diproyeksikan foto figur yang dikenal semua orang Indonesia, Sukarno, yang berbaju putih dan berkopiah, berdiri dengan khusyuk, pada 17 Agustus 1945 pagi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Ia membacakan naskah Proklamasi di tangannya.
Kalau foto jepretan fotografer Frans Mendur ini adalah satu simbol terpenting dalam ingatan kolektif Indonesia, tidak demikian halnya di Belanda. Belanda sampai sekarang masih belum resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. Bahwa sebuah pameran besar di museum nasional Belanda, Rijksmuseum, dibuka dengan imaji Sukarno membacakan teks Proklamasi, hal itu menandakan pameran ini memiliki sikap lain.
Pameran “Revolusi! Indonesië Onafhankelijk” (“Revolusi! Indonesia Merdeka”) dipersiapkan kurang-lebih empat tahun. Pameran ini mendatangkan dua kurator tamu dari Indonesia, yakni pendiri dan pemimpin redaksi majalah online Historia.id, Bonnie Triyana; dan pengamat seni rupa Amir Sidharta. Rijksmuseum dikenal sebagai museum seni papan atas dunia dengan koleksi lukisan setaraf Rembrandt dan Vermeer. Kini museum ini menyajikan sebuah pameran besar tentang masa revolusi Indonesia pada 1945-1949 bukan dari perspektif Belanda, melainkan dari sisi yang lebih beragam, terutama dari sudut pandang Indonesia.
Pameran ini menyodorkan masa revolusi 1945-1949 lewat 23 cerita pribadi orang-orang dari beragam latar belakang etnis, sosial, umur, dan profesi. “Agar periode ini dilihat dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu pihak,” kata Harm Stevens, kurator sejarah Rijksmuseum. Sepuluh ruangan sayap Phillips digunakan Rijksmuseum untuk menggelar pameran ini. Tiap ruangan menyodorkan tema tertentu. Semua ruangan ini menyajikan lebih dari 200 obyek dari koleksi Rijksmuseum sendiri serta pinjaman dari Belanda, Indonesia, Belgia, Australia, dan Inggris, dari popok bayi, poster, sampai karya para maestro seperti Affandi dan Hendra Gunawan.
Sejarawan dan penulis Anne-Lot Hoek berdiri disebelah kemeja Cokorda Rai Pudak, di Rijksmuseum, Amsterdam, 10 Februari 2022. Linawati Sidarto
Obyek yang disajikan jauh dari seputar foto serdadu atau benda kemiliteran. Obyek itu berasal dari berbagai kegiatan sehari-hari dan personal, seperti buku bayi yang disusun Letty Kwee untuk anaknya yang lahir di kawasan Pintu Air di Jakarta pada Agustus 1945; body tag milik Petrus Akihary dari Maluku yang menjadi bagian dari pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL); dan baju buatan Jeanne van Leur-de Loos, yang ditahan di kamp selama masa pendudukan Jepang, dari peta berbahan sutra yang dipakai tentara Inggris yang datang ke Indonesia pada Oktober 1945. Dari benda-benda ini, pengunjung dapat membayangkan suasana di Indonesia saat itu secara lebih intim.
“Tidak perlu bambu runcing dan pistol untuk menunjukkan masa itu. Itu malah bisa membangkitkan trauma, misalnya untuk para veteran dan warga Indo,” ucap Aminuddin Siregar, dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung yang sedang mengambil kuliah S-3 di Universiteit Leiden, Belanda, kepada Tempo. Aminuddin, yang menjadi konsultan pameran tersebut, menekankan bahwa seni dan obyek sehari-hari adalah medium ampuh untuk menceritakan sejarah ini.
•••
SEBULAN menjelang pameran, terjadi polemik besar di Belanda berkenaan dengan pameran ini. “Selama sebulan penuh terjadi pro dan kontra. Belum pernah di Belanda terjadi begini. Tapi pameran tetap berlangsung dan apa yang kita rencanakan untuk disajikan tetap ada semua,” ujar Bonnie Triyana. Polemik ini bermula dari artikel opini Bonnie di harian NRC Handelsblad pada 10 Januari lalu. Bonnie mempersoalkan istilah “Bersiap” yang di Belanda merujuk pada peristiwa pembantaian warga Belanda dan Indo di Indonesia setelah Agustus 1945. “Tim kurator memutuskan untuk tidak memakai kata ‘Bersiap’ sebagai istilah umum untuk periode kekerasan semasa revolusi 1945-1950,” tulis Bonnie (lihat wawancara Bonnie Triyana). Sebab, “Pengertian ‘Bersiap’ selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia…
Keywords: Revolusi Indonesia, Pameran Seni, Rijksmuseum, Periode Bersiap, Proklamasi, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…