Mengenang Debat Soedjatmoko Versus Boejoeng Saleh
Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-03-26 / Halaman : / Rubrik : SEL / Penulis :
“Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh rakyat kita sekarang ini tidak lain merupakan gambaran dari apa yang terlihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan. Juga di sini kita melihat gejala-gejala yang sama, yakni kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan dan lenyapnya nilai-nilai. Apa yang dinamakan “kehidupan politik” di ibu kota, tidak ada sangkut-pautnya sedikit pun dengan kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja dalam masyarakat kita….”
KUTIPAN alinea di atas berasal dari artikel Soedjatmoko, “Mengapa Konfrontasi”, yang ditulis di majalah Konfrontasi nomor 1 tahun 1, Juli-Agustus 1954. Tulisan ini merupakan semacam pengantar bagi edisi perdana terbitnya majalah itu pada 1954. Konfrontasi adalah majalah kebudayaan yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tanzil sebagai redaktur. Majalah ini kelanjutan Poedjangga Baroe.
Soedjatmoko adalah bagian dari lingkaran intelektual redaktur majalah Konfrontasi. Ia tergabung dalam Kelompok Studi Konfrontasi yang didirikan para redaktur Konfrontasi. Tiap bulan kelompok ini mengadakan diskusi yang menampilkan anggota redaksi dan seorang pengamat dari luar. Artikel berjudul “Mengapa Konfrontasi” adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan Soedjatmoko dan digodok dalam Kelompok Studi Konfrontasi.
Dalam artikel tersebut Soedjatmoko secara “provokatif” menyatakan Indonesia saat itu terjerembap dalam suatu krisis kebudayaan. Soedjatmoko percaya bangsa Indonesia yang masih muda di pertengahan 1950-an memiliki vitalitas atau kekuatan kreatif yang luar biasa, tapi tenaga atau élan vital-nya dihambur-hamburkan dalam percekcokan politik. Soedjatmoko melihat kemampuan menempatkan diri secara kreatif untuk mengejar tuntutan-tuntutan baru zaman tak dimiliki pemimpin politik.
Akibatnya, dalam masyarakat merajalela perasaan ketidakpastian, perasaan tak tahu arah, frustrasi, tak ada perkembangan yang bermakna. Dan kondisi demikian, menurut Soedjatmoko, juga sangat mempengaruhi karya-karya sastra dan budaya. Tidak lahir karya sastra, apalagi roman, yang menurut dia berbobot.
“Dengan timbulnya perasaan macet ini, hilang juga harapan serta kepercayaan mereka pada diri sendiri. Telah bungkamlah para seniman. Melancarkan protes pun ia tak sanggup. Korup pegawainya, lesu kaum tuanya dan sinis kaum mudanya,” tulis Soedjatmoko.
Keberanian berkonfrontasi dengan keadaan yang serba macet, menurut Soedjatmoko, adalah jalan keluar untuk mengatasi krisis. Soedjatmoko mengkritik para pemimpin yang takut melihat hal yang baru. Ia percaya bahwa…
Keywords: Tokoh, Budaya, Seni, Sejarah Indonesia, Soedjatmoko, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…