Bagaimana Ali Sadikin Mendorong Media Agar Mengkritik Kebijakannya

Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-08-13 / Halaman : / Rubrik : LAPSUS / Penulis :


MEMBACA neraca penjualan majalah Djaja yang terus anjlok sampai 30 persen, Harjoko Trisnadi berinisiatif menemui Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di Balai Kota pada Agustus 1970. Wakil Pemimpin Redaksi Djaja itu berkeluh-kesah kepada Ali bahwa keuangan majalah yang berusia delapan tahun itu morat-marit karena oplahnya tergerus lantaran kalah bersaing dengan media baru yang dikelola pihak swasta. “Kami kalah bersaing karena mereka bebas menulis berita,” kata Harjoko, 92 tahun, menceritakan pertemuan itu kepada Tempo pada Senin, 1 Agustus lalu.
Djaja adalah majalah yang diterbitkan pemerintah Jakarta di era Gubernur Soemarno, gubernur sebelum Ali. Ali menjabat Gubernur Jakarta pada 1966 ketika usianya belum genap 40 tahun hingga 1977. Mendengar keluhan Harjoko, dengan meluap-luap Ali menilai konsep majalah Djaja keliru sejak awal. “Seharusnya majalah Djaja tak dijual ke publik karena menggunakan logo pemerintah Jakarta. Ini namanya majalah in-house pemerintah Jakarta,” ucap Ali. 
Mendapat wejangan seperti itu, Harjoko menawarkan agar majalah Djaja dikelola seperti swasta agar bisa bersaing dengan Pedoman yang dikelola Rosihan Anwar dan Indonesia Raya asuhan Mochtar Lubis. “Lalu siapa yang akan mengelola?” tanya Ali. “Mungkin Yayasan Jaya Raya,” ujar Harjoko. “Baik, saya pikirkan dulu.” Yayasan Jaya Raya adalah yayasan di bawah PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang sahamnya dimiliki pemerintah Jakarta dan pengusaha Ciputra alias Tjie Tjin Hoan.
Beberapa hari kemudian, Harjoko mendapat panggilan telepon dari Ciputra. Ciputra bercerita baru bertemu dengan Ali Sadikin membicarakan pendirian majalah baru pengganti Djaja. Ciputra juga mengatakan baru bertemu dengan Lukman Setiawan, eks wartawan Kompas. Dari Lukman, Ciputra mendapat informasi pemimpin redaksi majalah Ekspres, Goenawan Mohamad, baru saja dipecat oleh pemilik media itu, Burhanuddin Muhammad Diah. 
Goenawan mendukung hasil kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 14-19 Oktober 1970 di Palembang yang menetapkan Rosihan Anwar sebagai ketua. Rosihan kurang disukai dan ditolak oleh pimpinan media pendukung Orde Baru. Walhasil, PWI menggelar kongres tandingan dan menetapkan B.M Diah sebagai ketua. Gara-gara perseteruan ini, Diah memecat Goenawan dan delapan pendukungnya.


Keywords: Rosihan AnwarAli SadikinGoenawan MohamadTempoKebebasan PersGubernur Jakarta
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…