Mengabaikan Konflik Menggadaikan Lestari

Edisi: 29 Jan / Tanggal : 2023-01-29 / Halaman : / Rubrik : LIN / Penulis :


SEKRETARIS Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika memberi nilai buruk pada rezim pemerintahan Joko Widodo yang dipandang gagal melaksanakan agenda reforma agraria. Penilaian itu makin buruk karena pemerintahan Jokowi juga dianggap gagal menyelesaikan konflik agraria. Bahkan ia menganggap agenda reforma agraria versi pemerintah saat ini seolah-olah tak lebih dari sekadar sertifikasi tanah. 
Menurut Dewi, tujuan ideal reforma agraria adalah memperbaiki struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan dan menjadi sumber kesejahteraan serta dapat menyelesaikan konflik agraria struktural. "Yang ada justru seolah-olah reforma agraria itu sama dengan sertifikasi tanah dilihat dari indikator banyaknya sertifikat," katanya, Rabu, 25 Januari lalu. 
Meski sertifikasi tanah sebagai bentuk pengakuan legal atas hak kelola merupakan aspek penting, dia menjelaskan, ada hal yang lebih mendesak dilakukan pemerintah. Ia menyinggung ihwal restrukturisasi tanah dan konflik agraria yang harus diprioritaskan untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. "Catatan KPA dari kurang-lebih 100 konflik agraria yang melibatkan perusahaan negara, tidak ada satu pun yang selesai," tuturnya. 
KPA juga mencatat, sepanjang 2022, terjadi 212 letusan konflik agraria di 459 desa dan kota di 34 provinsi. Jumlah ini meningkat dari 207 letusan konflik yang dicatat pada tahun sebelumnya. Selain jumlah kasus, luas area konflik meningkat menjadi sekitar 1 juta hektare dengan jumlah warga yang terkena dampak juga bertambah menjadi 346 ribu keluarga dari sebelumnya sekitar 198 ribu keluarga. 

Alat berat di area Desa Buantan Besar, Kabupaten Siak, Provinsi Riau/TEMPO
Dari semua konflik tersebut, investasi dan praktik bisnis masih mendominasi penyebab konflik seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sektor kehutanan, misalnya, tercatat ada 20 letusan konflik dengan 15 letusan di antaranya disebabkan oleh aktivitas pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI). Menurut Dewi, konflik ini menunjukkan adanya ketimpangan penguasaan tanah yang didominasi korporasi kehutanan. 
Padahal Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang menjamin kelestarian produksi hasil kehutanan. Dengan adanya SVLK, pemegang PBPH wajib mengantongi sertifikat pengelolaan hutan lestari (S-PHL) atau sertifikat legalitas hasil hutan (S-legalitas)—sebelumnya sertifikat legalitas kayu (SLK). Dua jenis sertifikat ini memberi jaminan bahwa pemegang lisensi PBPH telah memenuhi prinsip pengelolaan hutan secara lestari, atau sekurang-kurangnya memenuhi aspek legalitas. 
Dalam penilaian S-PHL, aspek sosial menjadi satu dari empat aspek penting. Keempat aspek tersebut adalah prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial. Dalam aspek sosial, pemegang PBPH wajib memiliki mekanisme pengakuan hak-hak…

Keywords: KehutananSVLKKLHKReforma AgrariaKonflik Agraria
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Indorayon Ditangani oleh Labat Anderson
1994-05-14

Berkali-kali lolos dari tuntutan lsm dan protes massa, inti indorayon kini terjerat perintah audit lingkungan…

B
Bah di Silaut dan Tanahjawa
1994-05-14

Dua sungai meluap karena timbunan ranting dan gelondongan kayu. pejabat menuding penduduk dan penduduk menyalahkan…

D
Daftar Dosa Tahun 1993
1994-04-16

Skephi membuat daftar hutan dan lingkungan hidup yang mengalami pencemaran berat di indonesia. mulai dari…